Berbincang Hangat dengan Komandan Brigade PII Banten

Ketua Brigade PII pusat bersama pengurus daerah Banten (sum. Pribadi)

Ditemui di rumahnya, penulis berbincang hangat dengan Mukhlas Nasrullah, pucuk Komandan Brigade PII Banten periode 2020-2022. Di temani segelas kopi dan cemilan ala kadar saya mengajukan pertanyaaan terkait sepakterjangnya di organisasi pelajar itu. Bagaimana dinamika PII dan apa saja tantangannya. 

Kabarnya, kader yang terkenal nyeleneh ini termasuk kader potensial dan menghangatkan ruang diskusi di kancah pemikiran. Pemuda kelahiran Pandeglang di tahun 2000-an punya cita-cita tinggi, PII menjadi landasan karirnya. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis sampaikan apa saja yang kami obrolkan di kesempatan itu.

Apa benar sebelum aktif di PII, Anda termasuk kader eks FPI?

Tidak benar. Mungkin bisa disebut hanya simpatisan. Memang benar saya pernah mengikuti acara FPI, tapi hanya sekedar ikutan. Kebetulan saat itu saya kan di pondok, jadi untuk menghibur dari kebosanan ikut-ikut teman.

Tapi kabarnya Anda sempat di tahan di Bandara Soekarno-Hatta karena akan menjemput kepulangan pentolan FPI, Habib Rizieq. Benarkah itu? 

Benar sekali. Itu saat kasus Ahok mencuat.

Ceritanya?

Jadi saya kan punya teman di pondok, dia punya paman yang nyantri di Gajrug, Rangkas. Pondok yang dipimpin oleh KH. Kurtubi Jaelani. Nah, pimpinan pondok ini salah satu petinggi di FPI Banten dan pondok-nya termasuk Markas Besarnya di Banten. Saya pernah ke sana diajak teman, di sana saya menyelami ruang gerak FPI.

Terkait penjemputan itu kami dapat info bahwa Habib akan pulang. Tahu sendiri dinamika politik di tahun itu, dan modal info di FB dengan modal nekat kami berbondong berjalan ke bandara. Ternyata tak hanya kami, ada banyak santri lain juga yang kumpul di sana. 

Pas kami masuk ke bandara, kami ditahan oleh pihak keamanan. Kami di introgasi, ditanya dari mana dan tahu info kedatangan Habib dari mana. Kami jelaskan apa adanya. Tapi kata bapak itu haox. Setelahnya kami diberikan makan cukup enak dan disuruh pulang. Sungguh itu pengalaman unik bagi saya.

Menurut Anda apa ada kesamaan FPI dan PII?

Sama-sama basis dukungannya Islam tetapi berbeda medan juangnya. FPI lebih kepada gerakan nah-mungkar, dan dakwah itu dasarnya. Kalau PII lebih fokus pada bidang pendidikan dan kebudayaan Islam. Bagaimana menciptan kader militan agar menjadi insan cendekia, berani, dan punya moral baik. 

PII konsisten ke sana. Hal itu bisa kita lihat dalam program pengkaderan menggunakan metode intragogi bukan pedhagogi. Yakni pola mendidik dengan sharing dan memposisikan pendengar sebagai team sehingga lebih mencair.

Apa alasan terbesar Anda bisa masuk dan bergabung dengan PII?

Tadinya hanya ikut-ikutan. Berawal kena brainwish kakak saya yang pernah jadi OSIS, saya pun ikut aktif di sana dan terpilih secara mayoritas. Karena kakak kelas saya ada yang aktif PII, iseng ikutan. Lama-lama seru juga. Dari keseruan itu mulai diseriusi.

Apa tantangan besar PII?

Banyak ya. Terutama dengan majunya dunia teknologi dan informasi agak sulit mencari kader yang punya militansi juga kecakapan teruji. Mental anak muda kita banyak yang sudah kenal cuci kemajuan tanpa bisa mengelola kemajuan itu. Apalagi budaya instan telah menyeruak ke mana-mana. Apa-apa mudah dipalsukan. Mental lemah dengan keinginan amat banyak.
Dan saya pikir, ini juga problem tiap ormas bukan hanya PII dalam hal ini. Peluang sekaligus rintangan besar.

Peluang sekaligus rintangan besar maksudnya apa ya?

Iya, maksudnya ini bagian dinamika sosial. Perubahan itu sebuah keniscayaan. Pilihannya cuma dua : kita diam pasti tertinggal atau kita melangkah mengkolabrasikan dengan perubahan. Itulah kenapa saya bilang peluang atau rintangan, PII dalam hal ini harus cerdas menyikapinya. Perlu ada langkah strategis dan relevan.

Jujur saja, kadang saya suka miris dengan sikap sebagian kader yang masih jumud dengan perubahan, bahkan kurang taktis. 

Dengar-dengar nih, sebagai sama-sama badan otonom di PII, katanya Brigade hubungannya kurang akur dengan PII Wati. Benarkah itu?

Kalau dikatakan tak akur, dibanyak acara kami sering sinergi kok. Tak benar juga sih. (Sambil tertawaa). 

Kalaupun ada konflik, saya lebih memahami sebagai proses pendewasaan. Kami satu keluarga dan rasanya biasa kalau sesama keluarga ada hal yang kurang sreg. Masalah besarnya kan bukan itu, tetapi bagaimana cara kami menyikapi hal tak sreg dengan bijak. 

Saya misalnya, sering mengkritik kader PII Wati yang terlalu dinina-bobokan dengan "status gender-nya", yang selalu ingin di istimewakan. Feminisme mereka pahami dengan sempit. Kasus sejarah dimarahi Saydina Umar r.a sering jadi acuan bagaimana wanita patut dimanjakan. Karena sekelas Umar saja tak berkutik, bagaimana kita orang biasa.

Padahal bagi saya konteks itu berbeda. Saydina Umar itu konteks dalam berkeluarga dan PII Wati kan konteks-nya sosial. Determinisasi ruang dan waktunya berbeda.

Bisa Anda perjelas bagaimana?

Jadi begini. Dalam satu kesempatan Brigade pernah mengajak kerja sama  dengan PII Wati. Hal itu terkait fenomena remaja menjadi PSK. Kita tak bisa diam melihat realitas itu. Mencaci dan menghakimi tak akan menyelesaikan problem.

Saya ajak untuk turun gunung, mari turun ke lapangan. Sadarkan saudara kita dan rangkul mereka. Saya tahu karena pernah sharing dengan mereka, tapi kan PII Wati -- bagi saya-- lebih pas karena isu sentralnya kemanusiaan dan nasib sesamanya. Tapi ya gitu, gagal memahami tupoksinya. 

Terus apa tantangan besar PII?

Bagi saya tak ada tantangan besar kalau semua mau open mind. Modernisasi itu biasa. Menjadi muslim sehrusnya cendekia, berani, dan mau terjun pada ladang nyata pahala. Di mana dan kapan saja. Aktivis harus peka dengan keadaan. Kalau mau terus dimanjakan dengan nama baik tanpa ada kerja nyata, bagi saya itu utopis. 

Pesan sebagai penutupnya silakan apa?

Dalam banyak hal kita harus membedakan ruang sikap kita dan pandai memahami sesuai konteksnya. Tugas sebagai kepala keluarga dan PII tak sama. Begitupula menjadi aktivis ruang geraknya lebih luas. Ada refresentatif Umat dipegang, maka perjuangkan itu. Jangankan manja dengan status sosial, tapi dalam sejarah tak memiliki aksi apa-apa. 

Kalau benar kebangkitan Islam ingin dicapai. Harus kita kebangkitan itu apa? Kejayaan dalam bidang apa? Langkah pastinya macam apa? Tanya pada rakyat biasa, apa sudah merasa dan tahu langkah nyata itu? Jadi, bukan sekedar klaim belaka.

***

Perbincangan itu selesai di pukul 20.00. Saya pamit karena memang sudah dari cukup. Semoga apa yang dicita-citakan aktivis Islam tercapai.. utamanya di bidang esensial. Wallahu 'alam. (*)

Pandeglang,    2/8/21

Mahyu An-Nafi

Nb : tulisan ini hasil bincang bebas dan dalam format tidak resmi, bukan wawancara. 

Satu lagi, ini cuma fiksi! (-^_^-)

Posting Komentar

0 Komentar