Membicarakan Cadar


Kami (orang pondok) punya kebiasaan berbeda kalau diajukan pertanyaan dan segera untuk dijawab. Kami butuh mencari jawaban dan menelaan dari kitab yang mu'tabar. 

Adapun orang yang belum mengecup dunia pondok biasanya kalau punya uneg-uneg, diberi pertanyaan dan di suruh untuk menjawab, praktis sekali menggunakan alat komunikasi terkini atau buku terjemahan yang relevan.

Tinggal buka hape, ketik sesuatu yang dipikirkan di pencarian google, tunggu beberapa detik maka sudah disuguhi jawaban yang ada. Apa hukumnya cadar, mudah ditemukan ragam jawaban. Tinggal memilih saja. Maka wajar, mereka lebih praktis dalam berpikir.

Apa itu tidak baik?

Tergantung bagaimana orangnya, kalau itu dijadikan landasan utama tanpa mau mengkonfirmasi pada ahlinya dan sudah merasa cukup itu letak tidak baiknya. Seakan ia menutupi bidang kajian para ahli yang telah meluangkan waktunya untuk merenung dan mencari jawaban yang mendekati kebenaran mutlak. 

Seharusnya, setelah menemukan jawaban dari google itu ditanyakan pada pakarnya agar ada diskusi atau kebenaran yang tak hanya "katanya" saja. Bisa jadi ini bisa meminimalisir "kesesatan berpikir" sebagian kita yang merasa paling benar sendiri.

Kami biasanya kalau ingin menjawab langsung melihat dan membaca kitab rujukan yang ada. Tak hanya satu kitab, akan tetapi ragam kitab agar ada keyakinan akan pendapatnya. Tidak asal ucap atau ambil dalil di tempat yang masih diragukan kebenarannya.

Metode ini sudah lama terpelihara di dunia perpondokan sebagai wasilah kawajiban menjaga tradisi berpikir Para Ulama. Di waktu tertentu, ada juga musyawarah antar pakar mendiskusikan terkait problema di masyarakat yang membutuhkan jawaban. Sama-sama berpikir dan mendiskusikan, tidak asal menghakimi tanpa ada sikap wara'.

Menghukumi cadar itu tergantung sikon dan orangnya, ya?

Bisa dia wajib untuk wanita yang parasnya bisa melenakan jiwa dan hati lelaki yang lemah imannya, ini terjadi agar lepas dari fitnah terhadap wanita tersebut. Bisa juga sunah untuk mereka yang merasa tidak terlalu muskil dibutuhkan sikon, karena tiap madzhab berbeda menghukumi aurat wanita di luar salat. Ada jua yang mubah dan mengaramkan karena bisa menimbulkan problem sosial.

Bagi saya, ini sudah cukup jadi landasan bersikap. Tak usahlah membenturkan cadar dengan paham kebangsaaan, NKRI atau kebhinekaan. Atau menyebut dengan nada sinis pada budaya Arab atau bukan Nusantara. Akan lebih baik memikirkan bagaimana simbol keislaman ikut andil membangun negeri.

Rasanya, bukan saatnya lagi membakar apa yang dingin; tak urgent juga mempersoalkan apa yang telah tertanam di jiwa-jiwa bangsa. Mau Pribumisasi, Islamisasi, atau Arabisasi bahkan Westernisasi tak memiliki esensi apa-apa kalau konflik berdarah yang terjadi. 

Untuk apa kita teruskan perdebatan di depan awam?

Padahal seharusnya debat itu ada tempatnya dan untuk siapa debat dilakukan. Bukan untuk cari sensasi atau eksistensi semata. Harus ada makna di cari. Harus ada adab diperlukan. Tak pantas dibumbui kebencian pula.

Saya kira, penting adanya mengedepankan sikap bijak berbasis keilmuan ditonjolkan. Berbeda pandangan bukan alasan bermusuhan atau menebarkan api konflik yang terus saja kobarkan. Saatnya kita membenahi apa yang telah tercoreng di masyarakat.

Cadar itu bukan fashion belaka, begitu kata teman nun jauh di sana. Memang miris menyaksikan gejala sosial yang kita saksikan. Betapa sebagian mereka bercadar hanya demi tuntunan fashion tak diiringi kualitas keilmuan mumpuni. 

Bukan menyangsikan, akan tetapi lebih sempurna kalau bercadar juga dilakukan karena Allah dan hanya ridha-Nya yang diharapkan. Pada mereka yang belum bercadar tidak memandang sebelah mata, pada dasarnya cadar hukumnya khilaf, begitu kata Para Ulama.

Tapi maaf, saya gak bisa bercadar karena saya lelaki. Tetapi kamu? Wallahu 'alam. (*)


Pandeglang  |  10 Agustus 2021

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar