Mimpi Tadi Malam

Malam sudah berganti sinar fajar nan cerah. Sisa malam masih terasa, bagaimana mimpi membuai diri hingga memberi getaran yang entah apa namanya.

Di gigil sepertiga malam itu saya terbangun dan terkaget atas mimpi yang  menghampiri. Apa arti mimpi itu dan ke mana makna yang terselip. Sungguh, saya tercenung mencari makna di balik peristiwa itu. 

Mimpi itu tentang mendiang adik ipar yang telah wafat tiga bulan yang lalu. Mimpi itu terkesan memberi sinyal pada saya. Kalau ada Imam Ibnu Sirrin dekat rumah, mungkin saya akan segera ke sana meminta tafsir mimpi itu. Ulama itu kesohor pakar menafsirkan mimpi di masanya.

Awal mimpi bertemu di depan rumah, betapa kami terkaget ada sosok yang mirip dengan almarhum. Setelah kami lihat lekat-lekat, itu dia adik ipar bukan orang lain yang mirip. Memang sikapnya berbeda, agak sedikit malu-malu. Kami percaya itu, pulangnya juga ke barat. Itukan letak rumahnya.

Episode selanjutnya saya mengikuti dan arah kaki melangkah ke Pasir Batu Nuar Cipatik. Ada gubuk di sana terbuat dari bilik bambu. Saya pun melihat ada anak santri lewat dan tatkala di tanya oleh seorang ustadz, mereka melengos tak peduli.

Entah kenapa saya seperti mendengar ucapan bahwa santri itu baru dengan ustadz yang baru jua, entah siapa namanya. Saya pun masuk ke gubuk itu. Betapa saya terkejut, ternyata di sana sudah ada orang. Semacam detektif atau agen intelijen.

Mereka tengah menyelidiki gerakan sporadis aliran sesat di desa kami. Ada wanita, ada lelaki juga. Saya tidak kenal siapa mereka, apalagi cadar sempurna menutupi wajah mereka. Gerakannya lincah dan cepat. Terlihat terlatih.

Dari sana ada info akan diadakan pertemuan alim-ulama se-wilayah terkait menjamurnya gerakan underground aliran sesat. Konon kabarnya akan hadir Abuya Uci Turtusi Cilongok. 

Dan benar adanya pertemuan itu cukup ramai. Berada tepat di depan madrasah adik ipar dan dekat rumahnya. Abuya Uci memang benar adanya dan saya sempat mencium tangannya. Mata saya memfokuskan pada rumah mendiang adik ipar, katanya yang ke rumah tadi bukan adik ipar, kenapa sekarang dia ada di sana menyambut tamu mulia lain yang berkenan singgah di sana. Saya jadi bingung, biasnya itu rumah kosong dan sekarang....

Saya pun pulang diiringi ponakan adik ipar berbicara di belakang madrasah,

"Begini lah adanya Kak, rumah Ibu memang cukup horor," katanya. Juga menceritakan hal lainnya.

Jujur saja saya kaget. Dulu bilang rumah tak ada apa-apa. Pas kami sampaikan adik saya sering ketakutan kalau ada di rumah, tetapi tak percaya. Menyangsikan perkataam kami. 

Kok sekarang lain lagi? 

Hmp, ada apa?
_______________________________


Sepanjang perjalan pulang pikiran saya terus berkecamuk dengan kata-kata:

"kalau ada orang yang mengatasnamakan nama saya, jangan dulu bicara. Itu bohong belaka."

Saat sampai di rumah itulah ada ponakan saya anak almarhum, saya cium dan timang. Rumah tetangga
terlihat terang dan luas, tengah membereskan besek, mungkin akan mengadakan tasyakuran.

Kampung terasa penuh teror. Macam zaman PKI gitu, seakan ada mata-mata gelap memperhatikan. Saya pun menyuruh bapak ke dalam, karena ada hal yang ingin dibicarakan. Baru saja mau menutup pintu, ada tangan yang mencegaj di luar. 

Kaget dong saya?

Siapa itu orang? Bergetar dada saya.

Dengan cepat orang itu masuk dan berbicara cepat sekali. Mengabarkan hal yang disangkal adik saya. Saya jengah dan greget. Mau disumpal pakai apa, mau dihentikan bagaimana. Maka secara spontan saya tarik kepalanya dan  saya ludahi mulutnya.

Dan... saya pun terbangun! Hanya mimpi ternyata. Getar dan rasa cemas masih terasa. Ada takut juga. Mau bagaimana, mungkin ujian iman atau teguran akan sikap saya yang selama ini kurang konsisten. 

Saya harus bisa memilih jalan. Menggali prinsip akan rel dakwah yang dipilih. Selama ini saya terlalu tergoda dan merasa diri paling sempurna. Pada jadinya biasa saja dan belum memberi apa-apa.

Ternyata tantangan dakwah kian berbeda. Mereka yang kurang suka dengan eksistensi dakwah tengah melakukan gerakan sporadis. Itu harus direspon cepat dan tepat. Harus ada balasan gerakan. Harus ada kader yang siap terjun ke sana.

Selama ini, saya ke mana saja. Terasa ada cambuk yang menyabet jiwa saya. Walallahu 'alam. (*)

Pandeglang |  8 Agustus 2021

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar