Menyorot Sikap Guru: Meminta "Kado" dan Kualitas Pendidikan Kita

Iustrasi Potret Suap di Sekolah


"Mah, kata Bu guru, hari selasa harus bawa bingkisan," kata Mawar kepada mamahnya. Lanjutnya, "bingkisan untuk bagi rapor. Kalau tidak bawa, katanya harus pulang lagi."

"Hemm, iya, iya." 

Mamahnya menjawab sambil menahan gerutu. Harus mambawa berarti kalau tidak bawa akan diacuhkan.

Bukan tidak mau memberi, tapi ia hanya khawatir dengan laku demikian. Bagaimana kalau sudah jadi budaya. Gejala itu telah jadi hukum pasti.

Tidak masalah bagi yang "sukarela" memberi, entah apa saja. Baik uang ala kadar, kado, atau sesuatu yang pantas. Sudah sepatutnya itu dilakukan. Wujud rasa terima kasih orangtua pada guru yang ikhlas mendidik.

Berbeda lagi kalau "dipaksa" pasti akan jadi beban. Memberatkan bagi yang punya uang saku pas-pasan. Simalakama: mau memberi kerontong, kalau tak memberi malu. Terpaksa harus memberi.

Dia teringat dengan curhatan temannya di salah satu wilayah Pandeglang, katanya hal begitu sudah biasa.

"Kalau di kami biasaya minta mie rebus atau cemilan gitu tiap acara tertentu. Bagi rapor misalnya. Pas lulus, kita pun harus membayar 'uang terima kasih', Kalau tidak diberi biasanya diberi senyum kecut juga tatapan gimana gitu."

Ternyata kenyataan begini sudah menyebar. Memang tak seberapa yang diminta, tapi menyoal "pelanggaran", tak kecil juga besar kan?

Terlebih yang melakukan sudah punya status PNS, apa ini paradoks?!

Sisi lain punya gaji dan tunjangan pasti, di lain sisi masih mengharapkan "remeh" dari para murid dan walinya.

"Mau gimana lagi," lirih Mamah Mawar, "namanya kita wong cilik, hanya bisa menggerutu."
--
Atas potret demikian patutnya menjadi perhatian pemegang kekuasaan. Laku suap telah tumbuh dengan macam wajah juga bentuk.

Sebagai bidang sentral yang mendidik anak bangsa seharusnya perhatian serius perlu ditinjau. Mencari akar masalah yang terjadi. 

Salah siapa dan kenapa terjadi perlu adanya penggalian di lapangan. Kalau memang marak terjadi, mungkinkah kemakmuran guru yang belum terjadi?

Baik mereka yang sudah PNS atau mereka yang statusnya masih honorer. Perlu dikaji untuk menutup celah laku tidak sehat di bidang sentral bangsa. 

Wacana tersebar dibenak publik rasanya masih bikin ruang sosial pengap. Banyak kalangan meletakan kesalahan "hanya" pada pelajar yang "kurang ajar" atas reaksi maraknya kenakalan remaja. 

Lucunya, luput atas oknum guru yang membuat belepotan lembaga pendidikan sehingga gagal melahirkan tunas bangsa nan unggul lagi berkualitas.

Situ kok nyolot meletakan kesalahan pada guru? Padahal tak semua guru begitu, apa ini bentuk penghinaan?

Tidak sama sekali. Tulisan ini mengajak untuk saling merenung, mengingatkan berbagai pihak agar terus membenahi bibit konfik yang menggejala di hamparan sosial kita. 

Benar tidak semua guru salah dan menyelewengkan aturan. Kenakalan remaja dengan intenasitas mengerikan bukan hanya dipikul guru, tetapi orangtua, pemangku kebijakan, dan pribadi bersangkutan.

Bahkan seluruh komponen bangsa punya andil untuk ikut prihatin dan menyumbangkan daya agar kualitas pendidikan tak hanya bernilai fisik, moral dan spiritual perlu ditanamkan.

Oleh karena itu, di mulai dengan membenahi dari oknum berkeliaran harus menjadi fokus utama. Terlebih kita tengah berada di era digitalisasi 4.0 menuju 5.0 yang perlu bekal tak ringan.

Banyak laporan masuk terkait guru yang masih awam literasi, setidaknya dilihat dengan daya baca belum menggembirakan. Perpustakaan Sekolah terbengkalai. Sering kali sepi pengunjung sebagian gulung tikar karena tak ada kepeduliaan.

Bagaimana pelajar mau melek baca dengan  dewan pengajar yang malas baca? Boro-boro membuat karya ilmiah, membuat opini saja masih banyak yang repot. Mau di bawa ke mana kualitas pendidikan kita?

Di barat misalnya, daya baca itu sudah diajarkan sedini mungkin. Pas masuk kelas 1 SD seorang siswa sudah diberi target baca harus berapa buku; kelas dua bertambah lagi dan seterusnya sampai kelas tertinggi.

Tentu saja ini membendung dari maraknya hoax, karena anak sudah punya daya kritis semenjak dini. Anak SMA tak akan lagi kaget dengan pemikiran filsafat atau hal lainnya.

Sebabnya mereka sudah memiki bekal cukup menganalisis fenomena atau bisa jadi bisa membaca dengan kualitas ilmiah yang teruji.

Sampai di sini, kiranya kita perlu memahami ada banyak PR di bidang pendidikan bangsa kita yang perlu dipoles lagi agar memiliki cermin cerah untuk masa depan bangsa. 

Terlebih, kita punya bonus demografi yang bisa digunakan untuk meminimalisir putra bangsa yang belum menyadari tugas beratnya di era digital ini. Wallahu a'lam. []

Pasar Pandeglang |  4 Januari 2022

Posting Komentar

0 Komentar