Sakit : Emak, Dia Sampai Ke Resesi Ancaman Kepunahan

Potret Sakit (Dok. Pribadi)


Satu minggu ini emosiku tidak stabil, tak lain karena Emak sakit. Emak sakit batuk, perih dan demam. Makannya susah dan susah beraktivitas. Kesusahan itu ikut terasa oleh seisi rumah yang peka. Dan aku, peka dengan kondisi emak. Because, Emak is my first love!

Karena kondisi Emak itu aku uring-uringan. Ditambah ada kabar dia di sana sakit pula, bahkan di rawat satu malam di klinik terdekat. Lengkap sudah. Tambah uringan. Nulis gak tentu. Baca gak fokus. Harus gimana, tak tentu arah. 

Capek juga marah ya, ditambah melihat orang yang kita cintai berjuang melawan rasa sakit. Ternyata yang sulit tidak hanya rindu atau mencintai dia secara diam-diam; menahan rasa sakit di saat kamu punya kesibukan jauh lebih berat. Lebih berat dari mereka yang pandai berjanji tapi tak berniat menepati.

Dua wanita itu, yang satu begitu dekat denganku dan yang satu jauh sekali--secara fisik. Secara jiwa, keduanya punya ruang sendiri di hati. Pantas aku uringan. Pantas aku cemas. Sakit keduanya membuatku merasa tidak baik. Aku tidak baik, pikiran kalut dengan stabilitas tidak jelas.

Aku punya alasan tidak baik-baik saja, sedikitnya perhatian juga pengorbanan mereka membuatku merasa baik dan merasa menjadi seseorang. Untuk itu, aku yang "sakit" kalau tidak punya rasa peka. Betapa banyak di luar sana orang diberi rasa kasih tapi tak mampu menangkap rasa kasih itu, yang ada membalas dengan kepahitan. Aku gak mau begitu.

Sejujurnya, apa sih sakit itu?

Apa  sakit itu soal rasa tidak benar kondisi badan kita saja?  Atau sakit itu soalnya luas, seluas samudera. Sebab ada banyak orang sehat secara fisik tetapi mereka menderita secara jiwa, misalnya kesepian atau cemas tiada akhir. Atau mereka yang fisiknya sakit tapi jiwanya senang lagi tenang. 

Lantas, apa sakit itu sesungguhnya?

Barangkali kita bisa melihat ke peradaban sekarang, di mana di beberapa negara maju angka bunuh diri semakin tinggi. Di Jepang, Korea, Amerika Serikat dan lainnya nyawa manusia seperti data statistik naik turun.

Di Singapura misalnya angka warganya sres karena tuntunan pekerjaan jadi sorotan. Belum lagi fenomena resesi seks yang melanda warga dunia. Resesi seks itu istilah mereka yang menurun minat terhadap aktivitas seks, bahkan sampai tidak mau menikah apalagi punya turunan. 

Naudzubillah!

Hal ini menjadi ancaman sekaligus sorotan, akankah ini awal dari musnahnya eksistensi manusia di muka bumi. Seperti yang disinggung Noah Harari di Homo Deus-nya. Persinggungan nyata sekaligus gesekan peradaban manusia yang mengerikan. Itulah kenapa, robot untuk "bercinta" di Jepang laku keras. Film porno legal, tetapi pemerintah sana bingung, betapa sedikit yang mau punya keturunan?

Untungnya Islam sudah peka duluan. Ketakutan itu terjawab dengan nikah punya nilai lebih bagi mereka yang sudah siap lahir batin. Punya keturunan diganjar dengan pahala besar. Apalagi hubungan suami harmonis bermandikan ridha-Nya, tidak ragu-ragu diganjar surga yang luasnya lebih dari bumi pun langit. Itu untuk mereka yang 100% yakin Islamnya, kalau belum, silakan cari.

Pemerintah kita, Indonesia tercinta, sempat pula panik dengan fenomena resesi seks, bagaimana kalau menular ke negeri yang penuh warna dan kekayaan ini? Untungnya survey badan terkait menyebutkan angka nikah makin tinggi dan angka lahir masih ramai. Minus lahir tanpa nikah ya, itu soal lain.

Ya, untuk konteks Indonesia aman. Bersyukurlah kalau masih banyak yang menikah dan masih banyak warganya yang ingin punya momongan itu tandanya tidak sakit. Negeri kita sehat. Sehat dari ancaman resesi seks dunia. Tinggal bagaimana tugas selanjutnya memperbaiki minat dan gaya hedonis yang memunculkan korupsi, kolusi, dan nepotisme menggurita di segala lini.

Barang kali, tidak ada salahnya untuk pemerintah membuat program "jomblo mudah nikah" untuk mengapresiasi juga merangkul warga negara yang ingin menikah terkendala ongkos juga kepahitan hidup. Kenapa negara tidak hadir di sini. Beberapa negara telah melakukannya, bukan barang baru sebenarnya.
 
Kalau ada kartu sehat, tidak adakah kartu jomblo agar mereka yang kini diuji "menyendiri" berdaya guna dan tidak jadi cibiran orang sekitarnya? 
Semua kembali ke pribadi masing-masing, mau melihatnya dari persepektif mana. Penulis hanya menawarkan. Didengar Alhamdulillah, kalaupun tidak terserah. Semoga sembuh yang sedang sakit ya. (**)

Pandeglang, 22 Mei 2023      21.53

Posting Komentar

0 Komentar