Sungguh, pagi ini ingin mencaci diriku yang terus hanyut di gelimang dosa tapi masih merasa aman. Aman dari aib besar yang mungkin kapan saja. Atau aman dari maut yang kapan saja bisa menyapa, mungkin saat aku hanyut di kubangan dosa. Duh, ke mana bisa melabuhkan harap terkecuali pada pemilik semesta raya, Rabbul Izzati.
Seusai salat subuh di Masjid, di luar Masjid aku memperhatikan kasur pemandian mayat begitu saja tergeletak. Di samping kiri. Aku diam merenungkan, di sana sudah tak sedikit jasad dimandikan. Tak berdaya. Kaku setelah melepaskan roh di jiwanya.
Aku pun bertanya ke diriku, "apakah kamu sudah siap?"
Tiba-tiba terbayang semua dosa demi dosa yang sengaja aku lakukan. Tiba-tiba aku dibuat malu, malu kepada diriku yang lemah secara iman dan semangat secara syahwat. Biji tasbih yang tadi aku putar-putar serasan panas di tangan, "Ya Allah, engkau maha tahu kenakalan hamba-Mu. Selamat hamba dari fitnah keji."
Seterusnya aku lari-lari pagi untuk menghangatkan badan dari dinginnya kerinduan. Tidak lama juga tidak jauh juga, sedikitnya aku merasa hidup. Untuk mempermudah laporan ke grup tilawah, pagi ini aku ingin mengejar target. Langsung 1 juz aja.
Aku berpikir, apa sih maunya kita dengan nikmat hidup di dunia? Apa hakikat keinginan sesungguhnya manusia? Apa serius demi memuaskan hasrat seksual belaka? Atau demi harta, tahta atau wanita--laki-laki belaka?
Pertanyaan seperti ini klise sebenarnya, tapi mau gimana sepanjang peradaban manusia selalu menjadi isu yang seksi. Dekadensi moral ikut merobek rasa malu di depan kita. Betapa rasa malu sekarang seperti sebuah lalapan, tidak berangkat dari kejujuran.
Kalau politikus sering dicap sebagai orang yang malunya pada janji sering dipandang sebelah mata, lantas kenapa kita tidak mencaci diri kita pula yang sering melakukan banyak hal keji, mungkin tanpa ketahuan orang lain, anehnya kita diamkan. Kita merasa aman dari pandangan manusia.
Padahal ada Allah yang tidak tidak tidur, tidak pula lalai mengawasi hamba-Nya. Kita tutupi rasa malu dengan kepura-puraan. Nikmat Allah begitu besar dan kasih sayangnya besar, lantas kenapa kita memilih murka-Nya?
Sungguh, pagi ini ingin mencaci diriku yang terus hanyut di gelimang dosa tapi masih merasa aman. Aman dari aib besar yang mungkin kapan saja. Atau aman dari maut yang kapan saja bisa menyapa, mungkin saat aku hanyut di kubangan dosa. Duh, ke mana bisa melabuhkan harap terkecuali pada pemilik semesta raya, Rabbul Izzati.
Aku pun ingat kitab tentang tentang kematian baik dan buruk yang diterjemahkan UAS dari Syekh Mahmud Mesir. Ini tentang pecandu "film dewasa". Dikisahkan ada seorang pria payuh baya tinggal di apartemen. Sudah berhari-hari tidak keluar dari rumahnya sehingga membuat cemasa fpara tetangganya. Apalagi sudah tercium bau busuk dari kamar itu.
Setelah dibuka dengan paksa, betapa kagetnya warga! Pria itu terbujur kaku dengan bugil. Layar kaca masih terus memutar adegan-adegan panas dari film blue. Begitulah akhir hidup pria nan malang itu, Izrail menjemput justeru kala ia hanyut di lembah hitam.
Aduhai jiwa yang rapuh, kapan kau siaga dengan tamu yang tak diundang itu? Kalau tidak sekarang, apakah ada jaminan hidupmu akan abadi? Itaqiilah haitsuma kunta! (**)
Pandeglang tidak basah, 8 Juli 2023 07.44
2 Komentar
Masyaa Allah luar biasa tulisannya,merasa tertampar dg coretannya...semoga kita semua plg dlm keadaan yg baik
BalasHapusYa Kaka, maksih atas kunjungannya. Amein
HapusMenyapa Penulis