Ini Loh Trik Mudah Meraih Salat Khusu

Trik Mudah Meraih Salat Khusyu
Anak Bungsu Emak Tengah Belajar Salat (Dok. Pribadi)

Pernahkah kamu melihat orang menangis dalam salatnya? Sudah masyhur misalnya Para Imam Haromain sering tertangkap kamera menangis dalam salatnya. Kalam suci membuatnya bergetar melahirkan getaran takut, rindu dan sejuk di jiwa.  

Tidak hanya Imam Haromain, baik asatidz dan asatidizah kita pun yang kita dengar maupun tahu tersedu-sedu dalam salat atau menghayati kalam suci. Kadang kita ingin seperti itu, kita pun ingin hanyut dalam samudra kerinduan. Tapi siapa kita, kita hanya hamba yang sering lalai dalam taat. Sekalinya taat mudah "merasa besar".

Kalau bukan sekarang kapan lagi mau mencoba dan berusaha untuk memperbaiki ibadah? Apakah menunggu wafat dulu dan menyesali semuanya atau menunggu keajaiban datang?  Kita lupa, segala sesuatu butuh usaha dan proses. Kita ingin kualitas salat seperti orang mulia tapi hanya sebatas ingin. Itu sih, sia-sia, kata Kiai Kondang Pandeglang ustaz Jamaludin.

Kita ingin seperti Nabi yang dalam salatnya sesenggukan merindu, dari satu surat pindah surat lagi. Kita pun ingin seperti Sahabat Ibnu Umar (?) yang saking khusyuknya salat sampai burung betah bertengger di punggung. Atau Sayidina Ali yang untuk mencabut panah di bagian tubuhnya saat tengah salat. Tidak ada rintihan apalagi teriakan nyeri, salat menyejukkan jiwanya.

Masalahnya, kita bisa tidak? Ada nyamuk di jidatnya sudah gedek bukan main. Belum punya pengetahuan sedikit, amal pas-pasan dan sibuk dengan aktivitas dunia. Bisakah begitu? Bisakah merasa sejuk? Bahkan sampai menangis sejadinya, tidak hanya satu kali tapi ingin berkali-kali merasakan sensasi Salat khusyu'.

Ternyata, siapa sangka salat khsuyuk tidak hanya milik "orang mulia" saja. Ada tiga hal yang pernah saya coba sebagaimana mengikuti metode Salat khusyu yang diajarkan Ustaz Abdullah Sungkar. Pernah disiarkan di televisi nasional dan Alhamdulillah banyak yang berhasil. Coba saja, moga saja berhasil.

Pertama, Saat berpindah dari satu gerakan salat satu ke gerakan lain harus tenang. Tunggu nafas stabil. Jangan terburu-buru. Misalnya setelah takbiratul ihram diam dulu. Nafas stabilkan dan tenangkan, setelah merasa tenang baru membaca iftitah. Setelah beres, diam lagi, jangan dulu baca ta'awudz serta al-fatihah, stabilkan nafas. Setelah cukup tenang baru lanjutkan. Seterusnya begitu, jangan terburu-buru. Nikmati, Lenturkan tubuh kita.

Kedua, pahami arti bacaan salat dan perdalam ilmunya. Kalau kamu tersentuh mendengarkan lagu dan banyak yang sampai menangis pula karena merasa terwakili dengan lagu itu; maka kenapa malas merenungkan juga menghayati bacaan Salat?

Kenapa tiap tahun kualitas salat begitu saja, tidak pernah merasa tersentuh apalagi menangis. Di depan orang kita "mengaku rajin Salat", di saat yang sama kita meragukan kualitas Salat kita. Dawuh almagfurlah Abuya Dimyati Cidahu, jangan banyak-banyak minimal satu ra'akat Salat diterima itu cukup beliau bangga. Tentu itu wujud tawadhu Ulama kebanggan rakyat Banten itu. Lah. kita kapan?

Mulai sekarang mari membiaskan membaca buku-buku dan rajin mengaji ilmu keislaman, rajin diskusi serta ikut pengajian yang mampu melembutkan hati. Tidak sekedar hafal lafadnya, tak kalah penting memahami isinya apa, syukur paham asal riwayatnya. Belajar agama itu bukan tugas santri atau kiai saja. Kita pun wajib tahu.

Saat kamu membaca takbir, harus tahu apa artinya dan renungkan betapa Maha besarnya Allah! Kalau selama ini kita belum khusyu', jangan-jangan kita selalu merasa besar sendiri sehingga lupa di atas segalanya ada yang Maha Besar. Diri, harta, wajah, dan karir tiada artinya saat jiwa rapuh ini terbujur kaku tanpa bekal. Sekarang mungkin bisa mengelak, nanti siapa menjamin?

Begitupula saat membaca Al-fatihah; sudahkah benar makhraj-nya, tajwidnya sampai pada paham artinya apa. Renungkan betapa 30 juz terkumpul isinya dalam satu surat itu. Kita sedih tidak punya uang tapi pernahkah sedih selama ini hafal Al-fatihah tapi belum juga paham makna di balik Al-fatihah itu?

Ketiga, siapakan waktu lebih dari biasanya. Rata-rata kita salat itu 4 rakaat membutuhkan 5 menit, 2 rakaat sekitar 3 menit. Itu pun belum terpotong dengan kecepatan salat yang kadang demi kesibukan atau mepet waktu. Bayangkan, 5 menit x 5 salat = 25 menit. Sehari 24 jam kita alokasikan hanya segitu. Katakan ditambah salat sunah, paling sakitar 1 jam. 

Lantas, kemana 23 jam kita gunakan?

Lucunya, kita ingin ke surga dan tak mau lama-lama berendam lama-lama di neraka. Coba, di mana rasa malu kita? Apa yang akan kita banggakan? Sedangkan salat adalah perkara pertama yang dihisab. Itu pun 25 menit minus belum pasti, entah salatnya benar tidak ingat aktivitas duniawi? Kalau iya, di mana rasa malu itu? 

Sisihkan minimal untuk 4 rakaat itu 10-15 menit. Coba tidak terburu-buru. Anggap saja itu salat terakhir, demikian kata asatidz. Jangan lupa, salat merasa dilihat Allah, kita merasa terus diawasi dan bagaimana berusaha melatih diri agar menghadirkan hati pun jiwa. Tidak gedebuk-gedebuk teparuguh.

Itu yang salat belum pasti selamat, apalagi siapa yang jarang atau tidak mau salat?!

Kalau bukan sekarang kapan lagi mau mencoba dan berusaha untuk memperbaiki ibadah? Apakah menunggu wafat dulu dan menyesali semuanya atau menunggu keajaiban datang?  Kita lupa, segala sesuatu butuh usaha dan proses. Kita ingin kualitas salat seperti orang mulia tapi hanya sebatas ingin. Itu sih, sia-sia, kata Kiai Kondang Pandeglang ustaz Jamaludin.
 
Oleh karena itu, tulisan ini hanya ingin mengajak pembaca yang insya allah lebih baik dari penulisnya untuk merenungkan sabda Nabi "Jaddidu imanakum", perbaharui imanmu! Perbaiki salatmu. Kalau sudah, ya Alhamdulillah. Doa saya, semoga bermanfaat terkhusus untuk penulisnya. Wallahu'alam. (**)

Pandeglang,  6 Juni 2023   14.45

Posting Komentar

0 Komentar