KERUDUNG HITAM


Pagi yang cerah awal sebuah pengaharapan indah. Begitu kata pepatah yang terpampang di gerbang sekolah tempat aku mengajar. Motor yang kupacu dipercepat. Jalan yang kutuju bukan ke sana tetapi ke kota Serang. Ada jadwal kajian yang harus aku isi. 

Gara-garanya tadi malam Fahmi ke rumah meminta bantuan. Dia tak bisa mengisi kajian karena ibunya terbaring di rumah sakit. Fahmi itu Ketua PW PII Banten. Sebenarnya aku ingin menolak karena belum layak mengisi kajian di gedung megah dekat kantor Pemprov Banten itu. Namun dia terus memkasa dan belum punya gambaran siapa yang layak mengisi. Mungkin efek panik melihat kondisi ibunya. Terpaksa aku terima. Demi solidaritas persahabatan.

Setelah pamit kepada ayah-bunda aku langsung berangkat. Aku takut terlambat. Untuk tema acara sendiri cukup menguasai dan tadi malam sudah membaca referensi untuk pematangan. Alhamdulillah, aku siap dan semoga ada manfaat yang aku sampaikan.

Sejam kemudian aku sampai di gedung PII. Di parkiran Aku dijemput langsung  oleh panitia.

"Ini Kak Mahyu An-Nafi 'kan?" 

"Iya," kataku sambil melepas helm dan jaket yang dikenakan. Dia langsung menyalami dan memperkenalkan diri.

"Saya Abdul. Panitia di acara ini. Kak Fahmi sudah menelpon dan mengabarkan tak bisa hadir. Katanya diwakili sahabatnya."

"Oh begitu."

"Mari Kak Mahyu ikut saya. Narasumber yang lain sudah pada hadir, tinggal kakak dan Pak Wagub belum ada." Katanya dengan melangkah cepat. Aku mengekor. 

Para peserta yang rata-rata Pelajar sudah memyemut. Sebagian sudah masuk ke aula acara. Menyaksikan itu dadaku berdekat cepat. Ada rasa yang takut. Bagaimana kalau aku.. tapi langsung ditepis. Anna tawakalltu alllah. Lisanku berucap.

Lima menit setelah aku datang Pak Wagub juga datang. Ketua Pelaksana dari name tag-nya Muklas Nasrullah memaparkan planing acara. Acara itu sendiri spontan katanya. Makanya kepada seluruh pembicara mohon untuk maklum. Temanya sendiri cukup bertenaga "Milenial Menyikapi Rasa dan Berkontribusi Untuk Negeri". Acara di mulai dari jam 09.00-16.00 WIB. Ditutup dengan shalat berjamaah.

Setelah pembekalan dari panitia, seluruh narasumber pun dipersilakan duduk ke tempat acara. Mataku dibuat takjub melihat ratusan anak muda menyemut di sana. Remaja putri bejilbab bak pelangi dan kaum remaja putra dengan tatap tajam lagi terpelajar. Koar kegaduhan masih nyaring terdengar. 

Tepat setelah Pak Andhika Hazrumi, selaku Wagub duduk semua suara itu mulai mereda. Panitia langsung bergerak cepat meredam. Tak lama moderator langsung membuka acara di pagi yang cerah itu.

Acara itu berjalan lancar, ada sedikit masalah teknis tapi panitia cekatan bergerak. Pak Wagub sendiri mengapresiasi akan langakah PII menginisasi acara tersebut. Di tengah serbuan budaya luar dengan segala rupanya banyak pemuda yang skeptis dan cemas. Tak jarang terbawa arus hingga hilang jati diri kebangsaannya. Pak gubernur sendiri paparnya menitip salam dan menugaskan untuk mencatat khusus pada staf-nya poin apa saja yang dibahas. 

Satu per satu narasumber menyampaikan kajian dan aku sendiri akhir menjadi pembicara.

"Mari kita dengarkan pembicara selanjutnya. Ini dia Mahyu An-Nafi. Penulis asal Pandeglang yang telah menelurkan 15 buku dan cukup moncer di kalangan penulis nasional. Opininya pun tersebar di beberapa media. Kepada Kanda Mahyu, dengan segala hormat kami persilakan!"

Koar tepuk tangan terdengar. Hanya senyum semanis aku persmbahkan. Aku tatap wajah-wajah ceria yang muli lelah dari segala sudut ruangan. Aku lihat jam sudah pukul 14:30. Ada satu jam setengah waktuku. 

Setelah salam, membaca tahmid dan shalawat aku pun membaca puisi..

PEMUDA

Kalian adalah penggerak peradaban
Rubah apa yang harus punah
Hiasi apa yang usam
Bangun apa yang mulai tercecer

Tepuk tangan semkain ramai. Wajah yang tadi lelah terlihat lebih cerah. Saat itulah aku sampaikan pembahasan. Judulnya "Muda Islami dan Energi Cinta di Peradaban Manusia".

Sepanjang sejarah manusia kata cinta selalu masuk urutan pertama  menarik animo. Tak pernah usang dan melahirkan keajabiban. Momentum itu menemukan porsi ketika Rasul Muhammad saw. diutus di tengah kegersangan iman dan rapuhnya moral.

Aku sampaikam juga bagimana cinta yang tadimya dimaknai terbatas seksuaitas dan absurd dibimbing pada kesuciannya. Dibawa pada makna aslinya. Dipahami untuk menciptakan sebuah peradaban usang. Memompa  pada jiwa yang tadinya kotor pada rumah yang damai lagi asri.

Bukti itu tersemat pada cintanya Saydina Umar bin Khattab yang gigih membela ajaran nendk moyang. Begitu radikal. Begitu ekstrim sehingga ingin menghabisi  jiwa nabi yang menyebarkan risalah Islam. Cinta pada ajaran itu mengantarkannya pada Islam.

Ya, berkah doa Nabi menuntun Umar pada Islam. Ketika pedang dihunuskan saat itulah ada sahabat mengetuk jiwa Umar. Kemarahan yang memuncak pun tak terarah pada nabi tetapi adik tercintanya, dari info yang ada telah mengecup ajaran Islam. Ajaran baru yang membumi di Mekkah. Viral di tengah petinggi kabilah karena mengancam eksistensi ajaran lama.

Hidayah itupun terbuka. Surat Toha membuka tabir kelam di jiwanya. Kemarahan luluh. Kebencian sirna. Yang ada tangis rindu. Cinta hakiki. Kalam Ilahi menembus rongga dada. Saat itulah ikrar Islam ditasbihkan.

Tak teras 45 lima menit aku sampaikan kajian. Data sejarah aku kutif. Bagaimana pemuda bisa getarkan dunia. Ada Usamah bin Zaid, Ibnu Abbas, Salahudin Al-Ayubi, Sultan Al-Fatih, Bung Natsir, Bung Tomo dan banyak lagi yang telah tercatat dunia.

Saat sesi tanya jawab dibuka, moderator nampak kewalahan akan serbuan pertanyaan. Tapi hanya beberapa yang dipilih. Demi kondusifnya keadaan. Aku sendiri yang paling banyak mendapat sasaran tanya cukup repot. Tapi aku senang artinya banyak yang paham apa diutarakan tadi.

Pertanyaan paling banyak seputar aktivirasku dan bahasan tadi yang kurang jelas. Namun dari semua penanya, ada yang msnyorot rasaku juga peseerta. Sosok muda yang cerdas lagi berani.

"Nama saya Nadia. Maaf saya ingin memperjelas kebingungan saya terkait kajian kakak. Pembahasan terlalu blunder. Konteks itu terlalu umum. Sedangkan kita ada di era milenial yang tak hanya berhadapan soal rasa tapi juga nalar sehat. Bagaimana cinta kadang hanya pembenaran akan nafsu kesilaman hingga dibenturkan dengan budaya bangsa yang mulai rapuh. Islam, negara, dan iptek tak jua menemukan jalan mulusnya. Ini penting agar "cinta" tak dipahami satu bidang saja hingga merobohkan makna hakiki cinta itu sendiri. Terima kasih."

Aku tersendiri tercekat tak menyangka ada berani bertanya seteliti itu. Wanita lagi.  Muda. Kerudung hitam pun menggema di sana. Aku jawab sekedarnya. Karena memang waktu tak mengijinkan untuk lama memperbincangkan. Acara itu pun ditutup dengan shalat 'asar berjamaah. Tepat di jam 16:30. keluar dari jadwal karena memang antusiasme peserta.

Aku baru bisa pulang pasca shalat magrib itupun dipaksa untuk kultum. Muklas Nasrullah selaku ketuplak amat berterima kasih akan kehadirannya. Katanya tadi ada telpon dari staff gubernur ada salam langsung dari Pak gubernur juga permintaan khusus pekan depan bisa mengisi kajian di Masjid kompeks Pemprov Banten. Aku hanya mengucap insya allah, dan selanjutnya bertasbih memujinya atas anugerah ilmu yang dititipkab di jiwa kotor ini.

Sepanjang jalan shalawat terus aku lantunkan. Sesekali pikiranku melayang pada sosok kerudung hitam itu. Nadia, hmp... siapa dia? 
Ada yang bergetar kala menyebut nama itu. Apa benar aku tengah jatuh cinta. Apa secepat itu. Untuk selanjutnya aku membaca sayyidul istigfar.

Tapi, dua kilo dari gedung PII motorku bergoyang tak karuan. Dipaksa tetap saja. Pas aku tengok ... dan ban motorku pecah! 
Inalillah wainnal ilaihi roji'un. Akupun harus mendorong sejauh setengah kilo karena bengkel banyak yang sudah tutup. 

Dengan ngos-ngosan, terlihat tak jauh lagi ada bengkel 24 jam. Dalam hati aku mengucap syukur dalam rasa sulit ada kemudahan. Bengkel itu tak besar, tepat dekat gerbang Masjid. Namanya Masjid Al-Muhibbin.

Si Abang langsung cekatan membantu dan menpersilakan duduk. Juga memberi minuman aqua gelas, "mangga attuh kang di minum. Kayaknya jauh mendorongnya. Mani kesangan seer euy."

"Hatur nuhun bang," kataku sambil tersenyum. Langka menemukan orang macam ini.

Dengan cekatan si Abang membongkar ban motorku. Tak lama adzan isya pun menggema di  Mesjid. Akupun pamit untuk shalat. Si Abang mengangguk.

Mesjid yang cukup besar, jamaahnya pun cukup banyak. Interiornya apik. Sekilas terlihat rapih karena terawat baik. Harum lagi menyejukkan. Pasca iqomat ada bapak setengah baya berdiri. Mata kami bersitatap. Entah kenapa kening itu mengernyit. Aku jadi enak hati.

"Kamu Mahyu An-Nafi kan?" Tanya bapak itu. 

"Iya, Pak." Keringat makin deras membasahi bajuku.

"Ada apa Pak Hasan?" Tanya jamaah yang bingung. Sorot tajam pun tertuju padaku. Orang asing yang hadir di sana. Aku tambah kikuk! 

"Hmp.. kamu kan penulis itu! Ya Allah, tak menyangka bisa singgah di Mesjid kami." Senyum ramah terpancar dari wajah teduh itu.

"Benar Pak Hasan. Itu Mahyu An-Nafi. Tadi siang baru mengisi kajian di gedung PII." Jawab muda yang dari tadi menatap tajam diriku.

Sambutan hangat pun terjadi. Satu per satu jamaah menyalamiku. Dan semua sepakat memintaku untuk jadi imam. Tentu aku menolak. Tapi karena terus dipaksa aku pun ke depan. Raka'at pertama aku membaca surat Al-fajri dan kedua surat Al-bayyinah. Dua surat favorit-ku. 

Sesuai shalat Pak Hasan memaksaku untuk singgah di rumahnya. Aku bilang motorku di bengkel. Pak Hasan pun langsung mendatangi si Abang dan menitip dulu soalnya pemiliknya mau mampir ke rumahnya. Si Abang hanya tersenyum dan mengedip nakal padaku. Ya Allah, ada apa lagi! 

Ternyata jarak rumah Pak Hasan dengan Mesjid cukup dekat. Hanya terpisah tujuh rumah. Setelah mengucap salam, ada suara wanita langusng menjawab. Menyambut dan mencium tangannya. 

"Ini istri saya," kata Pak Hasan sambil tersenyum.

"Ini siapa Pak?" Heran istrinya. Tumben sekali ada lelaki di bawa ke rumah. Padahal dia tahu sikap suaminya.

"Ini Mahyu An-Nafi. Itu penulis buku itu," kata Pak Hasan sambil menunjuk tumbukkan buku di lemari. Aku menangkupkan tangan di dada. Begitupula si ibu.

"Mari duduk. Beginilah rumah kami sederhana ala kadarnya."

"Ah, bisa saja bapak." 

"Saya ke dapur dulu ya, Pak. Nanti Uvus bawa air ke sini. Mari Nak Mahyu." Pak Hasan hanya menggauk

"Silakan bu."

Pak Hasan menanyakan apa saja aktivitasku. Aku jawab ala kadarnya. Beliau nampak antusias.

"Silakan di minum Pak, kak," kata sesosok membawa air. 

"Maksih ya Uvus."

"Iya, Pak."

"KAMU!!!" Kataku kaget. Itukam si ... kerudung hitam!

"Kamu kenal anak saya!?" Pak Hasan lebih kaget.

"Ti--- dak Pak!"

"Kami ketemu di acara tadi siang." Kata wanita itu malu-malu.

Entah bagaimana wajahku. Apa sudah mirip kerupuk dimasukkan ke dalam air. Apa macam kepiting rebus, merah padam. Ya Allah, ternyata wanita berkerudung merah itu namanya Nadia Nufus. Anak Pak Hasan. Setelah itu, malamku habis dihantui wajah dan nama tersebut. Sekian. []

Pandeglang,   29/3/21    15.07

Posting Komentar

0 Komentar