menikahi temanmu



By Mahyu An-Nafi 

Maaf dan entah sejuta maaf bisa memaafkan dosa yang aku sengaja tusukkan di punggumu. Pedang yang aku sayatkan pasti tetap membekas di jiwamu. Luka yang tak seharusnya aku berikan ada kamu yang rela menanti, setia menemani, dan menunggu sampai aku mapan dan siap datang kepada bapakmu. Tapi, ketika aku mapan, bukan kamu yang aku datangi. Seseorang yang mememani dan aku kenal: dia temanmu.

Aku ingat pertama kenal dia. Sebuah nama yang kamu kenal padaku. 

"Dia temanku kak. Cantik orangnya. Dia anak guruku," katamu dengan senyum ceria.

"Ya terus urusannya dengan kakak apa? Cantik ya karena dia wanita. Tapi mungkin lebih cantik seseorang yang telah menemani hari-hari kakak selama ini."

Kamu tersenyum manis mendengarnya. Sebenarnya itu bukan kamuflase. Di hatiku saat itu cuma dua nama: kamu dan ibuku. Tak ada lain. Tak ada niat mencari yang lain pula. Aku amat percaya kita akan menemukan restu. Allah akan  tentukan kebenaran cinta kita. Kamu seseorang yang spesial!

Di daftar whatsapp-ku pun tak ada nama yang sering menemani obrolan. Hanya kamu dan aku usahakan tetap kamu. Aku tahu, dia memang lebih cemerlang darimu. Lebih glowing pula. Tapi tak sedikitpun jiwaku bergetar karenanya. Aku terlanjur suka dan nyaman, dan itu kamu.

Di malam yang sunyi, saat aku tengah membaca buku ada chat yang masuk. Aku pikir itu kamu. Kamu dan rasa rindu sering lupa menyapa. Kadang di malam, dini hari, pagi atau sore. Aku tetap suka itu dan aku tak tergangu. Menyapa belahan jiwa bagian daripada menumbuhkan rasa cinta, kata orang gitu.

Nomor baru. Hanya salam. Aku balas. Selebihnya curhatan wanita yang terluka. Wanita yang rindu. Wanita yang kesepian. Selanjutnya kejujuran dia tentang rasanya. Tentang kamu, aku, dan kita.

Kami intens chat-an. Tak lama, mungkin satu bulan. Selain chat denganmu, aku juga dengan dia. Dua rasa berebut ruang. Dua rasa memiliki warna. Untuk kemudian aku menyerah..

Tepatnya saat dia meminta aku datang ke rumah dan bapaknya menunggu. Entah apa yang memberi aku kekuatan, biasanya aku peragu. Banyak pertimbangan. Saat itu, aku langsung datang ke rumah dengan kejujuran yang aku siapkan.

Bapaknya tak banyak bicara. Cuma mendengarkan. Sedikit angker juga. Hanya kata-kata pamungkas diucapkannya, "kalau serius, bapak tunggu ayah-ibumu. Kalau tidak, bapak persilakan kamu hapus semua tentang anak bapak."

Aku sadar dan paham, apa arti kata-kata itu. Waktu begitu cepat dan nama kamu terpinggirkan. Kamu benar dia cantik, lebih cerdas, dan aku suka dengan wawasan dia. Mungkin benar. Walau berat jodoh harus memilih. Memilih jodoh yang terbaik. Dan aku yakin, dia yang terbaik. Aku pilih dia demi masa yang akan dijalani.

Maaf, hanya itu yang mampu aku ucapkan!

Aku ingat, untuk pertama kalinya kamu menangis. Menangis saat aku utarakan kejujuran akan menikahi temanmu. Di alun-alun Pandeglang, sore yang cerah menjadi saksi tangismu.

"Kenapa harus DIA!!!" Teriakmu yang menyayat jiwa. 

"Maafkan aku dek."

"Kenapa harus dia, bukankah masih banyak wanita lain selain dia temanku. Kenapa setega itu. Mungkin tak akan sesakit ini kalau dengan yang lain."

"Maafkan kami," ulangiku lagi. 

"Kenapa kalian tega tusuk aku dari belakang. Apa salahku? Apa dosaku?" 

Kamu pun rebah dipelukanku. Kamu menangis di sana. Kami terus meracau. Memukul-mukul lembut bahuku. Jujur aku senang kamu masih begitu. Tapi hatiku tersayat dengan kenyataan. 

Semua berjalan dengan sendirinya. Tak bisa mundur lagi. Akad dengan dia harus tetap dilakukan. Semua diatur. Orangtuaku sudah mengatur. Penghulu sudah menjabat masa tanganku. Selamat tinggal masa lalu. Jodoh tak bisa kita atur. Ia menemukan jalan terbaiknya.

"Saya terima nikahnya Anisa binti Kiai haji Ja'far dengan mas kawin 10 gram dan seperangkat alat shalat dibayar tunai."

"Bagaimana saksi?" Tanya Penghulu.

"Sah!"

Koar alhamdulilah terdengar. Doa barakah pun menggema. Jiwaku plong. Dia tersenyum manis. Dia cantik seumpama bidadari. Dia telah sah dan kini jadi milikku. 

Aku pandang sekeliling, wajah ceria telihat. Orangtuaku, orangtua dia dan keluarga besar kami. Itu sungguh hari istimewa.

Dan kamu?

Kamu ada di sana, dengan gamis merah dan balutan kerudung senada. Tetap cantik dan manis. Kamu menangis. Tak sekalipun ada gurat kesedihan. Kamu menerima takdir ini, ya keluargamu juga ada di sana. Dan di waktu bersamaan, dia dan kamu mencium tanganku. 

"Kalian sekarang sudah halal, kakak harap bisa menjaga tali saudara."

"Siap kanda!" Jawab kamu dan dia serempak. Kalian pun tertawa. Ya, itu amat membahagiakan. Orang yang hadir nampak menggeleng melihat kemesraan kita. Ya Allah, hamba dititipi dua bidadari, kuatkan hamba!

Tak jauh dariku, wajah ibu berkaca-kaca. Aku tatap wajahnya dan ibu mengangguk sambil menangis bahagia. Kalau bukan karenanya, mungkin lain ceritanya.

"Aku ingin menikahi Anisa, bu," kataku. 

Ibu sungguh kaget, "Anisa teman si Ninda! Kamu gila atau apa, hah! Kamu pacari Ninda dan kamu mau nikahi Ninda. Astagfirullah.... "

"Serius bu, Ninda sudah tahu dan aku sudah jujur kepadanya. Gimana, apa ibu mau merestui?"

Ibu pun memanggil bapak dan menceritakan semuanya. Bapak nampak kaget dan geram. Wajahnya memerah. Mau bagaimana lagi.

Ibu pun buka  suara, "ibu tak akan merestui kalau kamu nikahi dulu Ninda! Titik."

"Itu namanya poligami. Aku belum siap."

"Ibu tunggu jawabnya malam ini. Ibu gak mau ada hati terluka. Di keluarga kita memang tak ada yang pernah poligami, tapi kalau itu banyak maslahat, kenapa tidak?! Ibu tahu rasamu dan Ninda, jadi menyatukan hati mungkin itu yang terbaik. Lagian Islam membolehkan itu. Ibupun kalau diposisi ini, siap untuk di madu."

"Tapi bu..."

"Jangan tapi-tapian. Siapkan mentalmu. Ibu dan bapak atur semuanya." Bapak hanya mengagguk memberi dukungan ibu.

Maka inilah jadinya. Di tahun yang sama, bulan yang sama, hari yang sama. Di jam berbeda kamu aku nikahi dan dia aku halalkan. Maafkan aku, kalian aku ikat dan tempatkan di hati yang sama. Dia temanmu dan kini istriku. Tetapi kamu tetap yang pertama. Jangan menangis
 ya sayang, aku akan perbaiki diri. []

Pandeglang, 4/4/21    16:41

Posting Komentar

0 Komentar