Bapakku Tukang Becak


Ilustrasi tukang becak

Suasana kelas 3 SDN 1 Pandeglang amat ramai. Siswa yang tengah antusias. Satu sama lain terlihat ceria. 

Pasalnya Ibu Tin, nama guru itu tengah membahas cita-cita. Di ujung pembahasan menanyakan apa saja cita-cita anak didiknya satu per satu.

"Cita-cita kamu jadi apa Rizal?" Tanya bu guru sambil tersenyum.

"Jadi Pilot, bu," katanya berapi-api.

"Kenapa?"

"Karena aku bisa terbang dan keliling dunia." Jawabnya begitu bangga. Ada yang tepuk tangan dan ada yang mengejek "huh".

"Kamu Lastri?"

"Jadi guru, bu. Karena saya bisa berbagi ilmu dan bisa bermanfaat bagi orang lain," jawab siswa yang sering dapat ranking 1 itu mantap. Bu guru nampak tersenyum bangga dan serempak yang lain tepuk tangan.

"Nah, apa cita-cita kamu Fatah. Kamu siswa terakhir yang berbicara," kata bu guru hati-hati. Sebab bu guru tahu siswa ini sosok yang pendiam dan terkenal menjadi penghuni perpus yang jarang dikunjungi siswa.

"Saya bu," kata Fatah terbata, "punya cita-cita ingin punya banyak becak."

Sontak saja satu kelas menertawakan pasca Fatah berbicara. Bagi mereka itu aneh plus lucu. Kalau yang lain ada yang ingin jadi Polisi, pejabat, pilot, pembisnis, guru; kan terdengar keren. Nah ini, ingin punya becak. 

Sudah berulang bu guru mengingatkan untuk diam tapi tak digubris. Fatah nampak tak peduli, ia tenang saja. Bu guru sampai dibuat kagum sekaligus penasaran. Ia yakin, Fatah punya alasan kenapa punya cita-cita demikian. Sayangnya, anak didiknya yang masih polos belum memahami cita-cita luhur temannya.

Setelah sepuluh menit sabar menunggu anak didiknya mulai diam. Saat itulah bu guru bicara. 

"Fatah, sayang. Boleh ibu tahu, kenapa kamu punya cita-cita demikian?" 

"Bu guru, bapak saya itu tiap hari mencari rizki sebagai tukang becak dekat alun-alun. Tapi becak bapak itu jelek dan tak menarik dilihat. Tapi itu warisan kakek. Jangankan untuk memperbaiki, untuk kebutuhan kami saja repot. Sedang yang lain, becaknya pada bagus." 

"Terus..."

"Nah, kalau saya punya banyak becak, saya akan pilihkan becak terbaik untuk bapak dan bagi pada mereka yang nasibnya sama kayak bapak," kata Fatah tak sekalipun ragu. Seolah cita-cita itu sudah tertanam lama di sanubarinya. 

Teman-temannya yang tadi menertawakan sontak terdiam. Ibu guru nampak tersenyum dan sesekali sibuk menyusut air yang mengalir di wajah teduhnya. Fatah nampak biasa saja. Dia malah aneh melihat respon teman sekelasnya, apalagi bu guru yang menangis. 

"Tepuk tangan buat Fatah!" Kata Bu guru. Hampir semua bertepuk tangan dan tak lama bel pulang pun berbunyi keras di luar kelas.

***

"Bapak, bapak," bocah sepuluh tahun itu berlari. Seragam sekolah masih terpakai. 

"Nih Pak, bapak haus kan? Ini namanya My Zone. Seger Pak!" Bocah itu menyodorkan minuman pada pria setengah baya yang terlihat nampak tua. Kulitnya gosong. Mentari setia membakar kulitnya. 

"Kamu dapat dari mana ini? Ini mahalkan harganya?" Kata lelaki itu yang ternyata bapaknya.

"Ini halal Pak. Uangnya dapat ngasih bu guru. Nanti Fatah cerita." Kata bocah yang ternyata Fatah dan lelaki itu bapaknya yang tengah mangkal di pinggir alun-alun Pandeglang.

"Oh gitu, sini duduk di dalam becak. Panas di situ." 

Dua manusia yang beda usia menenggak minuman dingin ditengah panas cuaca kota. Ada oase ditenggorokan. Adem dan sejuk terasa di jiwa. Sesekali bapaknya mengucap hamdalah dan Fatah mengikutinya.

"Ayo kita pulang!" 

"Siap Pak!"

"Jangan lupa cerita kenapa bu guru memberi uang, ya?"

"Nanti malam aja ya Pak?"

"Kok ditunda, nanti kalau kamu atau bapak ketiduran gimana? Dusta loh kata nabi."

"Eh, ya pak."
 
Maka sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Fatah bercerita begitu semangat. Bapaknya hanya mengangguk dan tersenyum. Ia bersyukur, sekalipun nasib baik belum menyapanya tapi Allah menganugerahkan putra-putri cerdas di gubuk sederhananya. Lima anak yang berprestasi dan ketaatan yang baik. Apalagi mendengar cerita Fatah, putra bungusnya ia menangis. 

"Ya Allah lakal hamdu walak syukru. Jadikan kami baik dan jadikan anak-anak hamba sholeh dan berilmu," lirihnya dengan dada bergetar.

***

"Bu, ibu menyesal tidak menikah dengan bapak?" Tanya bapak Fatah ke istrinya.

"Apaan sih Pak, ngomong kayak gitu. Kayak di film-filml aja," jawab istrinya sambil tersenyum.

"Ya, bukan gitu. Ibu tahukan keadaan kita bagaimana. Kerja bapak bagaimana. Coba bandingkan dengan saudara kita yang lain macam bumi dan langit."

"Terus ..." 

"Lah, kok ibu terus-terusan. Nanti kita jatoh dari sini."

"Ibu kira tak ada yang harus kita bicara terkait itu. Kita sudah jalani  selama ini dan kita sudah memiliki lima bintang di gubuk ini. Apa bapak masih ragu dengan cinta dan kesetian ibu?!"

"Bukan gitu sayang. Justru bapak amat bersyukur punya bidadari dan lima bintang, yang bi-idznillah taat pada-Nya. Dengan kenyataan itu bapak berpikir terkait ibu, sampai saat ini belum membahagikan ibu ... jangan-jangan ibu tersiksa," ujarnya sendu.

"Pasti ada sesuatu yang bapak pikirkan. Tak biasanya bapak begini. Lebay kata orang sekarang mah." Bapak Fatah nampak tersenyum mendengar penuturan istrinya. Istrinya selalu tahu apa yang jadi pikirannya, jiwanya amat peka dan sangat tajam mencium sesuatu di keluarganya.

"Apa Fatah tadi siang memberi Ibu uang?"

"Iya. Rp. 50.000. Katanya, terima saja dan itu dapat memberi ibu guru. Sisanya mau dipegang dan di sedekahkan."

"Sudah bapak tebak, pasti anak itu akan memberi pada ibu." 

"Maksudnya ada apa. Kok ibu bingung," mengernyitkan kening tak paham. Setahunya anaknya jujur dan ia tahu kualitasnya. Saat bilang diberi uang oleh gurunya, ia percaya. Tapi suamimya kok bersikap aneh. 

Dengan senyum lembut suaminya menerangkan asal kenapa anak bungsunya mendapatkan uang dari gurunya. Diceritakan apa cita-cita anaknya dan bagaimana sikap teman berikut gurunya pasca mendengar pemaparan harapan anaknya. 

"Masya Allah Nak." Hanya itu yang mampu diungkapkan. 

Malam semakin pekat dan tak lama terdengar suara anak berlari di ujung gang. 

"Tuh anak-anak sudah pulang mengkaji Pak."

"Tumben malam sekali ya bu. Jam 21.00 WIB."

"Ya gak apa. Sing penting mengkaji ilmu untuk bekal mereka. Tak hanya di dunia juga akhiratnya."

"Assalamu'alaikum bapak-ibu!" Teriak si bungsu.

"Wa'alaikum salam warahmatullah. Kok anak ibu malam sekali pulangnya?" 

"Biasa bu, ada acara muhadarah." Jawab si sulung sambil mencium tangan ibunya.

"Lah, kok kakak yang duluan nyium tangan ibu, kan aku yang duluan salam. Kakak!!!" Rajuk si bungsu. Kakaknya yang tahu tabuat adiknya langsung berlari sambil mengejek mengeluarkan lidahnya. 

"Awas ya kak!" Si bungsu Fatah mengejar kakaknya ke dalam.

"Ya Allah Fatah! FATIN!" Teriak ibunya. Bapaknya hanya tersenyum sambil geleng-geleng.

"Kalian gak apa-apa Nak," tanya si bapak pada tiga anaknya yang baru salaman.

"Mengantuk Pak. Izin langsung ya bu, pak."

"Jangan lupa sikat gigi dan wudhu dulu bagi yang mau tidur."

"SIAP BU!" Serempak pada menjawab. Karena sudah menjadi rutinitas, makanya terasa mudah.

***

Dua puluh tahun kemudian ...

"Nah, jadi di sini rencananya akan jadi perpus dan gedung Lab Pak?" 

"Bagus-bagus. Saya setuju. Tapi tolong matangkan sehingga tak ada masalah nantinya."

"Iya Pak. Mari saya tunjukkan ruang untuk santri berkarya dan isirahat Pak. Letaknya cukup jauh."

"Ya gak apa-apa. Kita jalan kaki saja."

Baru lima langkah, ada seseorang memanggil namanya,"maaf Pak Fatah. Di depan gerbang ada menunggu. Lelaki tua dengan becak uniknya. Sudah kami suruh masuk tapi tak mau."

Fatah tersenyum mendengarnya. " iya, sebentar lagi saya ke sana. Maksih ya."

"Sama-sama Pak."

"Terus gimana Pak Fatah, mau lanjut?"

"Nampaknya tidak Pak. Ada bapak saya di depan. Nanti saja. Lanjutkan saja."

"Maaf Pak, kok bapaknya naik becak?" Tanya mandor itu heran.

"Hehe. Saya kan anak tukang becak dan sampai saat ini bapak ingin tetap mengayuh becak."

"Oh maaf Pak, saya baru tahu," tersenyum menahan malu atas kelancangannya.

"Hehe. Saya pamit ya. Assalamu'laikum."

"Wa'alaikum salam warhmatullah."

Fatah pun bergegas menemui bapaknya, yang ternyata tidak sendiri. Ada sesosok wanita paruh baya di sana. Setelah mengucap salam, langsung mencium tangan keduanya. Lantas memeluknya.

"Apa kabar bapak-ibu?"

"Baik Nak. Buktinya bapak masih bisa bawa penumpang. Hehe."

"Ah bapak bisa saja."

"Gede juga ya nak bangunan pesantrennya. Merinding ibu melihatnya. Usaha becak kamu sukes, sekarang tengah membangun  lagi."

"Jangan gitu, ini karunia Allah. Ini juga kan patungan dari si kakak. Fatah yang bontot hanya menjalankan tugas dari ke empat anak ibu. Lagian kan nanti ibu salah satu penghuninya."

"Ibu? Kamu bercanda Nak?! Patungan? Apa sih maksudnya?"

"Apa bapak belum cerita?"

"Cerita apa," ibunya tambah heran.

Bapaknya jadi salah tingkah dan menggaruk kepala yang tak gatal.

"Jadi serius bapak belum cerita?" Tanya Farhan balik. Bapaknya hanya mengagguk. 

"BAPAK!!!"

Dua pasangan paruh bayah itu pun saling kejaran. Fatah yang melihatnya hanya geleng kepala sambil tersenyum. Tak jauh dari sana, ada empat mobil terparkir yang juga tengah menonton tingkah suami istri itu. Mereka hanya tersenyum. Fatah yang tak menyadari kehadiran mobil itu, fokus pada ibu-bapaknya refleks sujud syukur. Subhanallah walhamdulillah wallahu akbar terucap di bibirnya. SEKIAN. (*)

Pandeglang |   31/5/21     23:33

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar