Gara-Gara Hape


Ilustrasi (Info Jateng)

Ibuku baik. Resik dan tipe wanita jempolan. Cukup dengan dua tangan manisnya rumah kami yang tak terlalu besar selalu kinclong. Meski sudah punya tiga jagoan, fisik ibu masih terlihat fresh. Tak jauh beda sama mereka yang single.

Tentu itu menjadi poin lebih betapa bersyukurnya aku dilahirkan dari rahim cantik kekasih bapak tersebut. Aku anak sulung dan kini tengah duduk di kelas 2 SMAN. Adikku di kelas 1 SMPN dan satu lagi masih kelas 3 SD dekat rumah.

Namun satu pekan ini ada yang beda sama ibu. Setiap pulang sekolah tak ada makanan hangat. Ibu mudah emosi. Hampir tiap malam sering terdengar berantem dengan bapak. Rumah kami bak kapal pecah. Tak ada usapan lembut dan senyum lembut dari malaikat kami itu.

Ibu berubah!

"Bu, kok gak ada makanan di meja," kataku seusai pulang sekolah. 

"Makan aja yang ada." Katanya dengan mata fokus terus ke layar hape. Sesekali senyum sendiri.

"Tapi bu...."

"Sudah jangan tapi-tapian. Itu di dapur ada telor sama mie instan, masak sana! Gak tahu apa ibu lagi apa?!"

Aku pun nyelonong pergi ke kamar. Dengan rasa kesal yang teras sesak. Di kamar aku pun berbaring me-refresh pikiran yang penuh dengan beban. Perubahan ibu yang cepat sungguh menjadi sorotan.

Tak lama adikku pun pulang. Menanyakan persis seperti yang aku tanyakan tadi. Jawabnya tak jauh beda seperti yang aku terima:  ibu lagi sibuk!

Entah kenapa, apa perubahan ini karena hape yang bapak berikan seminggu yang lalu sebagai hadiah ulang tahun pernikahan. Itung-itung untuk hiburan Ibu biar gak stres, kata bapak saat itu.

Aku sering stalking akun ibu, memang benar yang menanggapi tulisannya cukup banyak. Apalagi ibu juga bergabung di beberapa grup kepenulisan dan pernah ikut event. Tulisannya memang masih amburadul tapi pokok tulisan itu terlanjur menyentuh hati pembacanya yang rata-rata sejenis dengan ibu. Sisi lain aku bangga pada ibu, hanya satu pekan telah mampu menarik simpati. Di lain sisi aku juga miris, ibu kehilangan kontrol dan tak bisa memilah mana kewajiban di alam nyata dan mana saatnya berbagi cerita.

Ibu memang sempurna di medsos tapi ia kini berbeda di alam nyata. Aku tahu, ibu memang rajin berbagi kebaikan di sana. Tapi ia kini menjadi sosok yang berbeda. Hampir 24 jam online. 

"Adek rindu ibu yang dulu kak," kata adikku yang kecil.

"Sabar ya dek, kita doakan agar ibu sadar."

"Emang ibu ngapain aja sih dengan hape-nya, kak?" Kata adikku yang besar.

"Gak tahu. Setahu kakak, ya aktif nulis dan berbagi kebaikan."

Itu yang sering adikku curhatkan padaku dengan perubahan ibu. Aku sudah berusaha membicarakan ini pada bapak, tapi jawaban bapak mengagetkanku.

"Bapak sudah menyerah dek. Bapak sudah sering menasehati tapi respon ibumu seperti yang kalian dengar, pertengkaran. Bapak jadi bingung, harus gimana lagi menyadarkan ibumu. Apa perlu bapak cera...."

"Jangan ngomong gitu BAPAK!" Jawabku cukup keras. Bapak akhirnya memelukku dan memintan maaf dengan pikiran negatifnya.

***

Lama-kelamaan kami bisa menerima perubahan ibu. Tiap pagi bapak memasakan telur dan menghangatkan nasi. Bapak rela kesingan kerja demi gizi kami tercukupi. Hanya itu yang bisa bapak lakukan dan itulah menu harian kami. Tak ada lagi canda ibu, tak ada lagi menu yang cihuy di meja makan. 

Kalau ada rizki lebih bapak memberi uang saku lebih pada kami untuk membeli makanan yang enak dan bergizi, katanya. 

Hal ini terus berlangsung berbulan lamanya, hingga di suatu siang setelah aku pulang dari sekolah, aku lihat ibu berbaring di kursi ruang tamu menahan gigil yang amat keras. 

Ibu sakit!

Aku yang panik langsung memegang kening ibu, panas yang teramat di sana. Aku pun langsung menelpon bapak. Bapak terdengar panik. 

"Sudah kamu minta bantuan sama Kang Solihin aja. Tolong minta antarkan ke klinik tedekat. Nanti bapak nyusul ke sana," kata bapak. "Jangan takut dan kuatkan dirimu dek!"

Segera aku datangi rumah Kang Solihin dan alhamdulillah ada. Kang Solihin bergegas menghidupkan mobilnya setelah mendengar ceritaku. Istrinya, Teh Surti juga ikut ke rumah membantu membopong ibu. Warga yang kebetulan melihat langsung bergerak membantu, sebagian diam menonton meramaikan halaman rumah kami. 

"Ya Allah, semoga ibu tak apa-apa. Jangan ambil dulu ya Allah," lirihku berdoa. 

***

"Kita makan bareng aja ya," kata bapak membawa dua bungkus nasi Padang, "sini kumpul." 

Itu hari seminggu ibu di rawat. Sampai saat ini belum ada perubahan, ibu masih berbaring dalam tidur panjangnya. Tiap hari kami anaknya gilir menjaga ibu, untuk sekolah kami izin. Otomatis ini menguras kantong keluarga, maka untuk makan kami hanya menunggu bapak. Apapun yang dibeli bapak kami makan bersama. Tak ada pertengkaran.

Saat kami tengah menikmati nasi Padang itulah, ada mata yang dari tadi melihat kami makan. Dengan diam sambil menahan air mata, sosok itu terjaga menyaksikan kami. Kami berempat, berikut bapak tak menyadari itu.

Setelah tangis semakin tak tertahan, mata kami tertuju pada satu tubuh yang tengah menangis dan itu suara...

"IBUUUU!!!"

Kami berlari ke arah suara dan langsung memeluk tubuh yang terbaring itu. 

"Ya Allah, badan kalian kurus sekali sayang. Bapak, badanmu juga kurus. Wajahmu pucat," suara itu memecahkan keheningan setelah beberapa saat. "Maafkan Ibu, ibu sudah melalaikan kalian. Ibu selama ini salah dan mengaku dzalim pada kalian."

Isak tangis ibu terdengar menyayat. Kami pun juga menangis, tapi tangis kami adalah bahagia. Tangis karena ibu telah kembali. Terima kasih ya Allah telah mengetuk hatinya, lirihku berdoa. Wallahu 'alam. (*)

Pandeglang |    31/5/21

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar