dia bukan Santriwati

"Tapi aku bukan santriwati kak," katanya sendu. Lanjutnya, "aku hanya wanita biasa yang tak sempurna yang gampang emosi dan tak sebaik dia!"

"Terus?" Tanya saya yang bingung akan  maksud omongannya kemana.

"Iya, tak sama kayak yang kakak tulis di buku harian itu."

Jleb!

Saya kaget sekaligus tersenyum. Bagaimana tidak, apa yang dia baca di buku harian itu hanya tokoh fiksi saat saya mumet. Tersenyum juga  karena tak percaya kok ada yang percaya bahwa itu nyata curahan hati saya sama seseorang. Hehe.

Ya Allah. Ceritanya gini. Saya tuker buku harian sama dia. Tuker dong kita. Karena saya suka nulis jelas dong buku saya penuh coretan dan beda sama dia, ya adalah tulisan singkat-singkat.

Sengaja sih ngajak tukeran agar tahu apa minat kami sama gitu biar bisa coupelan. Eih tahunya sama walau sedikit. Kalau tukeran kartu ATM kan gak mungkin, soalnya minus isinya. Hehe.

Nah, di sanalah dia terkaget dan saya pun merasa bersalah. Apa yang dia pikirkan? Mungkin tak menganggap saya playboy kali ya? Mana dia percaya wajah macam gini playboy?! 

Tapi dari sana saya memahami satu hal bahwa dalam tulisan itu istilah ruh memang adanya. Ruh di dalamnya bisa memancing orang tertarik dan ingin membaca seolah itu magnet. Ini bisa terjadi kalau menulisnya memasukan faktor hati bukan sekedar mencoret.

Makanya sampai kini kalau ingat santriwati ada selalu bayangan tentang dia. Oya, alhamdulilah kini dia sudah berkeluarga dan punya satu buah hatinya. Suaminya, katanya, cucu kiai beken di Pandeglang. Saya ikut senang walau tak hadir di pernikahan dia. Tahu kenapa? Karena yakin, saya selalu bokek. Hehe. Bohong ding aslinya gak diundang. Udah gitu saja..

Kira-kira saya kapan nyusul ya? Hehe. Wallahu 'alam. (*)

Pandeglang,  7/6/21

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar