Peristiwa Kemarin

Sungguh malam yang mencekam dan buat jiwa deg-degan. Tak menyangka saja kalau wacana yang tersebar memang ada benarnya. Sosok yang dianggap murah senyum pada wujudnya tersekat oleh hal yang tak memiliki nurani.

Jadi begini ceritanya.

Ali sebelum meninggal memberi wasiat pada istirnya juga keluarganya agar segala yang dimilikinya diserahkan pada anaknya, bahkan sawah pun juga dibicarakan. Tentu saja keluarga istrinya, Ani maklum. Mungin itu isyarat tak akan lama lagi hidup di dunia. Berat memang, tapi mau apa lagi, namanya usia pasti ada batas. Batas inilah yang disebut kematian.

Pasca Ali meninggal, ternyata yang di wasiatkan diperdebatkan keluarganya. Jangankan istrinya menikmati, bahasa saja tak ada. Komando pun ditangan mereka. Bahkan sampa di titik nadir tak terlihat pikiran bagaimana menyikapi anak dan istri almrhum...

Istilahnya, Ani balik nimpuk hulu te mawa nanaon, hanya buah cintanya yang dibawa. Harta yang diklaim Ali, katanya itu bukan punya dia tapi punya Ibu dan ibu itu masih punya banyak anak bukan hanya dia. Jadi sekali lagi pembagian itu tidak benar dan absurd.

Menyaksikan demikian kesannya gimana ya, mungkin ada tiga hal asumsi saya. 

Pertama, ada yang tidak beres dengan keintiman keluarga itu. Kok bisa? Ya bisa, kalau akur kan segala sesuatu bisa dibicarakan. Nah ini tak ada. Semua serba instan, menggebu pula tanpa perencanaan. Jadinya ricuh, padahal kalau mau serius dibicarakan  dengan baik pasti bisa saling memahami.

Kedua, Keluarganya Ali terlalu intervensi dalam rumah tangga. Ini yang bahaya. Seharusnya fase menikah adalah membentuk masa depan dan pembelajaran karakter. Proses saling menyelami jiwa masing-masing. Dalam hal ini keluarga harusnya memahami bahwa kini Ali sudah punya kewajiban. Tak ada kekangan, aslinya tetap negatif.

Entah bagaimana pola pikir demikian. Seharusnya karena tahu ada kewajiban diberi kesempatan, bukan di dikte secara frontal.

Ketiga. Salam paham.

Posting Komentar

0 Komentar