Tangisan Pada Kondisi Negeri

Baru saja saya menonton film yang dimainkan oleh artis kawakan, Reza Rahadian. Film itu menceritakan kondisi negeri kita, bagaimana cukup sulit mencari rizki halal ditengah serbuan kemajuan sosial.

Muluk, demikian nama Reza di film, adalah sarjana manajemen yang masih mencari pekerjaan. Di lingkungannya dia menyaksikan bagaimana banyak yang tidak percaya dengan pendidikan. Sepanjang jalan dia menyasikan ketimpangan sosial. Praktek lawas macam menebak nasib, cara sukses mengandalkan jampi masih ditemui.

Ke sana kemari dia mencari kerja namun tak jua bertemu hingga ditengah pasar bertemu pencopet. Pencopet yang untuk satu kali kerja berkomplot. Dia ikuti orang terakhir yang memegang rampasan itu, hingga menangkap itu anak.

"Hey, kamu mencopet. Gak baik mencopet. Harusnya kamu izin dan tidak mengambil hak orang lain," kata Muluk bijak.

"Saya kan pencopet, bang, bukan pengemis. Mana ada harus izin."

Kata-kata itu membuat Muluk terdiam. Ada benarnya juga, mana ada nyuri harus izin. Maka muluk melepas itu anak dan ia pulang dengan kecemasan karena belum juga dapat kerjaan. 

Hingga sepulang mencari kerja, Muluk bertemu lagi dengan bocah itu di warung makan. Muluk hanya makan dengan menu saderhana, beda dengan anak itu yang makannya menu favorit. Muluk ditawari menu spesial tapi ia menolaknya. Inilah awal kedekatannya dengan dunia pencopetan.

Kemudian Muluk dibawa ke markas pencopet itu dan ternyata memiliki bos. Sebuah rumah kosong besar yang sebagian bangunannya sudah hancur. Di sanalah ia berkenalan dengan si bos dan mengajak untuk kerja sama.

Muluk berencana memberdayakan para pencopet agar memiliki harkat dan nasib hidup yang baik. Bos itu pun mengijinkan. Maka diadakan perjanjian, setiap penghasilan harian mencopet akan dipotong 10% untuk dikelola Muluk untuk masa depan anak-anak itu. Bosnya sendiri mengijinkan walaupun pendapatannya berkurang, dia pun memahami masa depan anak-anak itu penting. Tak selamanya "bisnis mencopet" bertahan lama.

Maka tiap hari Muluk memberdayakan anak-anak itu dengan diberi pendidikan secukupnya dibantu oleh dua orang dekatnya. Meski awalnya susah karena dunia kelam telah membentuk karakter, tapi lama kelamaaan dengan kesabaran dan dan niat tulus anak itu pun mulai membukan diri. Mereka tahu sekarang bahwa mencopet itu dosa dan bukan pekerjaan yang baik untuk hidup. Tapi gak bisa berhenti total, karena mereka butuh waktu untuk tetap berdiri.

Ending film itu cukup menyentuh hati karena mereka ketahuan orangtuanya. Bagi bapak mereka itu pekerjaan tak baik dan uangnya haram. Sebagus apapun niatnya tetap saja haram. Padahal mereka cukup sukses memberdayakan anak jalanan itu hingga mereka paham arti sebuah pendidikan. Mau apalagi, berhentilah mereka dan kembali anak-anak itu terlunta-lunta.

Tanggapan

Film yang bagus dan memprihatinkan bagaimana kita melihat anak negeri yang berjuang untuk bertahan hidup tapi harus terkena diskriminasi. Mereka yang kerja asongan, secara hukum halal, tapi mereka sering diburu para aparat karena mengganggu lalu lintas. Tapi di sisi lain para tikus berdasi seolah diberi kemewahan, padahal mereka terbukti menyengsarakan rakyat dan entah berapa triliuan dana untuk menyejahterakan wong cilik diserobot mereka. Itukah wujud keadilan di tengah kayanya SDA kita?

Miris sekali, bukan?

Ditengah arus iptek yang terus maju, ternyata banyak anak negeri yang buta huruf dan belum mengenal apa itu pancasila, uu, serta apakah mereka punya wakil rakyat. Toh nasib mereka tetap sama, meskipun tiap lima tahun sekali ada yang berjanji akan mengangkat nasib dan harkat mereka. Ya, lima tahun sekali. Tapi setelah itu, semua hanya janji manis. Sisanya yang kelaparan tetap tak bisa makan tanpa kerja keras mereka. Padahal pasal 4 (1) UU '45 menyebut negara akan menjamin nasib hidup mereka, faktanya hanya cerita dalam paradoks negeri tercinta.

Entah sampai kapan tontonan miris ini akan menemukan titik cerah, petinggi negeri fokus membangun negeri dibantu elemen bangsa bukan fokus membangun guritan kekuasan dan say hallo kalau rakyat menagih janji mereka. Sebuah potret kusam negeri yang telah 75 tahun merdeka!

Saya pun menyadari ini tugas yang berat, perlu kiranya semua ikut andil. Tapi kalau berat, kenapa tak punya malu mereka yang sudah tak mampu melahirkan adil-makmur agar turun saja dan menyerahkan kekuasaan para mereka yang mampu dan teruji. Rasanya perlu rasa malu dibudayakan agar semua tahu kewajibannya dan berjalan atas amanah yang dipegangnya. Niscaya yang diharapkan, insya allah mudah digapai. Kira-kira kapan? Ini yang harus kita sadari. Wallahu 'alam. (*)

Pandeglang,   6/5/21

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar