Liberal dan Liberalisme, Mana Yang Berbahaya?

Saya jadi teringat percakapan tadi malam dengan adik terkait istilah tokoh liberal bahkan atheis. 
"Tokoh anu bukannya liberal ya, kak? Eh, kalau gak salah atheis ya?" Katanya dengan ragu apa pertanyaannya itu pas atau tidak. Saya sih hanya tersenyum. Dia memang kurang tertarik dengan dunia pemikiran, entah akhir-akhir ini sedikit tertarik.

Liberal atau liberalisme dua kata yang mirip tetapi maknanya berbeda. Jauh malah. Sederhananya kita bisa memahami liberal itu bebas. Sebuah proses berpikir untuk bebas demi tercapai hal baik yang diharapkan. Berbeda dengan liberalisme yang mengarah kepada sebuah paham kebebasan yang tak lagi memperhatikan nilai agama dan tak menempatkan agama dalam pola berpikirnya. Bisa jadi liberalisme itu adik kandung dari atheisme, sebuah gerakan yang ingin meniadakan Tuhan. Menyangkal bahwa Tuhan mencipta dunia dan isinya. Baginya dunai ada sendiri tanpa ada yang mengadakan. Ada tanpa ada yang mengadakan. Demikian yang jamak dikenal.

Hal ini tak jauh beda dengan polemik Cak Nur ketika menulis terkait pentingnya pikiran sekuler di tubuh Islam, demi menyongsong abad Modern. Sebuah abad indrustri yang memerlukan pikiran baru agar Islam turun mewarnai kemajuan dunia. Sayangnya tulisan itu diperdebatkan, cukup alot. Hal itu terjadi karena paham Cak Nur mengarah pada Sekulerisme, yang ingin memisahkan agama dalam kehidupan. Paham yang amat berbahaya, demikian kata para tokoh.

Cak Nur tentu saja menyangkal. Katanya, beda sekali antara sekuler dan sekulerisme. Dia mendukung gerakan sekuler tetapi tidak sekulerisme. Kenapa? Karena gerakan sekulerisme adalah meniadakan Tuhan. Sedangkan sekuler adalah proses berpikir yang menematkan pada tempatnya. Kalau urusan dunia, ya urus secara dunia. Kalau akhirat, ya urus secara akhirat. Jadi jelas di mana tempatnya, itu dilakukan demi menyongsong abad kemajuan. Agar survive di segala zaman. 

Maka, kalau saya disodori mana yang salah, ya tinggal simpulkan sendiri. Adik saya yang lain (aktif di PII), pernah juga mengatakan bahwa sesungguhnya istilah liberal itu bukan paham agama, tetapi istilah dalam dunia ekonomi. Sebuah teori yang dicetuskan Adam Smith-- kalau tak salah, untuk memajukan ekonomi negara. Artinya dalam dunia ekonomi. Namun karena populer lantas dicomot dari bidang apapun. Secara bahasa saja kontraduktif, lucu dibawa terlalu jauh pada klaim sesat atau neraka, karena kita tak tahu siapa yang bakal ke neraka. Itu wewenang Tuhan. Namun hari ini, banyak jadi "Tuhan" dengan kata-katanya. Miris sekaligus ironi. 

Menyebut Liberal, angan kita akan mengarah pada JIL (Jemaat Islam Liberal), yang tokohnya semacam Ulil Absar Abdala atau Gunawan Muhammad sebagai pelopor juga pendirinya. Saya tahu, karena selintas lalu pikiran mereka memang belum jamak di tengah Ummat. Sebuah gerakan berpikir bebas agar terlepas dari pengkotakan. 

Kenaapa ditolak atau tertolak? Bisa jadi, ini hemat saya, karena kebanyakan Ummat Islam belum siap dan pantas membicarakan itu. Tema itu masih tabu dan terbiasa dibicarakan. Entah nanti di masa literasi sudah mapan dan Perpus jadi sahabat akrab untuk dikunjungi.

Saya pernah baca kok bukunya dan coba memahami isinya, ya memang, di sisi lain itu penting untuk dilakukan tapi di sisi lain ditakutkan konflik karena kesalahpahaman. Untuk yang baru baca pemikiran itu pasti kaget, tidak demikian dengan individu yang terbiasa menggeluti dunia pemikiran, hal demikian biasa sekali. Solusinya, kembali pada siapa yang membaca dan melihatnya dari sudut mana. Bagaimanapun kita tak bisa "memaksa" orang untuk menerima dan menolak sebuah ide, semua bebas memilih. Bukan begitu? (¤).

Pandeglang, 13/7/21

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar