Menangkap Pesan di Ujaran Viral Gus Baha'

Sosok Gus Baha' seringkali menjadi sorotan. Tak lain dari statmen-nya yang mudah dipahami dan tak tersekat oleh ruang organisasi. Berulangkali disampaikannya, ia ingin bebas berbicara dan tak dituggangi oleh kepentingan. Bisa disimpulkan pernyataan itu berangkat dari nilai Islam dan ajaran Islam itu sendiri yang tengah terkoyak. 

Baru-baru ini, pernyataan Santri Mbah Maimoen itu di akun Youtube yang diasuh oleh para santrinya terkena banned. Tak lain karena isinya mengomentari atas realitas politik. Ia mempertanyakan Indonesia lahir bukan hanya karena "satu orang", tetapi ada banyak tokoh besar. Ulama menjadi pionir pertama di sana.

Ummat Islam tercatat paling awal di sana turun ke gelanggang. Tak peduli resiko besar yang di dapat. Sumbangsih dan jejak perjuangannya secara melembaga di mulai tahun 1908 dengan bedirinya Sarekat Dagang Islam. Sebuah gerakan yang banyak diisi dan dikelola oleh para santri juga Ulama di sana.

Dengan tokoh HOS. Cokrominoto sebagai pimpinan pusat basis dukungan mengular di mana-mana. Politik Islam melaju dalam gerak pasti. Jiwa-jiwa terpanggil. Sampai dijuluki "Raja Jawa Tak Bermahkota", tak lain karena namanya harum dan suaranya digerakan.

Di buku Api Sejarah  penulisnya begitu cantik menggambarkan apa saja upaya juga startegi cerdas Ummat Islam menghadirkan merdeka di bumi barakah ini. Tak hanya menjelang merdeka, tetapi saat istilah demokrasi, komunis, dan lainnya belum muncul bahkan penjajajah berpikir singgah di bumi Pertiwi, Ummat telah terjaga dan memahami arti sebuah dedikasi.

Kritik Gus Baha' terhadap sepakterjangnya PDI-P dan siapa sejalan denganya tentu bukan tak ada maksud. Tak lain peringatan agar semua pihak tak mudah melempar permyataan absurd terkait perjuangan untuk negeri. Jangan memonopoli pandangan dan gagasan demi kepentingan semu. Mencari pembenaran untuk kasus tertentu. Imbasnya menutupi kenyataan yang telah indah di catat sejarah bangsa.

Kita yang lahir pasca merdeka seharusnya menyadari serta menghargai Para Pahlawan. Bukan mengkultuskan pada satu tokoh sehingga mereduksi data valid. Apalagi coba menutupi betapa gerakan nyata Islam berpolitik di masa pra-merdeka.

Kita sungguh bukan mengklaim. Seyogyanya hal ini bukan terus diruncingkan. Cukupi sudah adagium menyudutkan Islam dengan macam jargon. Kalau benar ada dari sedikit Islam yang mengacau di republik ini, percayalah itu hanya yang nyari sensasi. 

Sepanjang sejarah, dunia Islam hadir dengan penuh nilai humanis lagi ramai. Tidak memaksa dan mau memaksa. Tengok misalnya lahirnya peradaban Islam di nusantara, apa dengan cara ekstrim yang sekarang di sorot dunia?

Kitapun patut mempertanyakan maksud pihak YouTube gerah dengan pernyataan dari Gus Baha'. Bukankah itu sebuah fakta yang ada dan jawaban cerdas untuk membendung pendapat yang ahistoris. Atau membakar ruang sosial yang adem dengan terus membenturkan Islam dan negara, padahal negara lahir karena Islam paling terdepan di sana. 

Kurang apa Ummat dengan begitu legowo menerima Pancasila meski ada kalimat yang rela dihapus karenanya. Kebanyakan Ummat menerima wujud respon agar tetap bersatu lagi toleran. Islam telah tahu apa dan bagaimana bersikap.

Maka sewajarnya, semua kalangan memahami sejarah bangsa dengan baik. Tidak mudah mengobral kata-kata yang menyakiti perasaan sesama anak bangsa, apalagi demi kepentingan kelompoknya saja.

Gus Baha' sebagai bagian yang lahir dari rahim Santri dan didikan ala Ulama ingin membuka cakrwala pemahamam sejarah bangsa yang entah terasa terdistorsi oleh sebuah gerakan yang ingin menutupi ruh perjuangan Ulama di jagat negeri.

Saatnya kita kembali membangun negeri dengan tidak menyebarkan tuduhan, kekhawatiran, dan syaka wangsa tak berdasar. Hati-hati memberi stigma. Kurang apa Ummat menerima dan tetap menghargai meski berkali-kali di kambing-hitamkan karena kasus dan peristiwa yang bukan refresentatif Islam sesungguhnya.

Kita ambil hikmah dan eratkan tali percaya, bukan curiga. Kapan kita bangkitkan nasib mereka yang sampai saat ini belum merdeka secara hakiki, padahal kita sudah merdeka lebih dari 76 tahun. Bukankah itu usia yang matang untuk menangkap esensi kemerdekaan? Walallahu 'alam. []

Pandeglang |  23 Agustus 2021

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar