Menggali Lagu dan Laga


Dunia itu panggung sandiwara, begitu bunyi lagi lawas yang tenar di tahun 80-an sampai kini pun tetap eksis. Bukan hanya liriknya yang menarik tetapi melodi yang mengiringi menjadi hal kalangan terus memutarnya. Sebuah karya yang fenomena sejatinya tak tekan masa, ia kekal di ingat sebagai refresentatif jiwa pendengarnya. Kapan dan dimana saja.

Tetapi membicarakan lagu, bagi saya, lagu itu bukan hanya apa yang kita pahami. Lagu memiliki makna lain kalau kita tarik dalam dinamika kebudayaan manusia. Budaya memiliki esensi menyentuh jiwa untuk mengetuk jiwa yang akan, sedang, pasti resah.

Alarm agar keluar dari kondisi menjemukkan. Dalam konteks ini, relevan kalau dikatakan sejarah islam mencatatkan lagu abadi dengan nilai sastrawi tinggi. Pengorbanan yang tak berupa kata, ada langkah pasti untuk memberi energi pada kemanusiaan.

Kita lihat misalnya terkait sikap Nabi pada panglima perang Khalid bin Walid; yang kita tahu ia adalah musuh utama dan yang amat mengharapkan gugurnya Nabi di medan laga. 

Bukit Uhud menjadi momentum moncernya. Pasukkan muslim yang sebenatar lagi menang berkat strategi pasukan pemanah di belakang bukit berhasil memukul mundur pasukan Quraiys, sampai mereka ingin kabur dari medan laga.

Tapi ada yang salah selanjutnya dengan pasukan pemanah. Mereka berbondong turun dari bukit berebut harta rampasan. Dan ini, berhasil dipahami oleh pimpinan perang Quraiys. Mereka memutar haluan, dan berhasil... memukul mundur pasukan muslim yang akan menang. Nabi terluka kala itu, dan barisan kaum muslimin tercerai berai.

Khalid bin Walid itulah pucuk pemimpinannya. Kita bisa bayangkan betapa rasa Nabi kala itu dan jiwa kaum muslim, tetapi Nabi tetap menampilkan wajah sejuk dengan tetap berpikir positif.

Pada saat yang Allah tentukan pintu hidayah terbuka. Wasilah surat yang dikirim saudaranya Walid atas saran rasul, maka terbukalah sejarah Islam baru. 

Siapa nyana, yang dulu begitu getol menolak juga memusuhi ajaran yang dibawa Nabi; sekarang terdepan membela kehormatan juga meninggikan ajaran Nabi. Sampai Nabi memberi gelar padanya Saifullah (pedang Allah). Dedikasinya tersebut. Namanya harum. Sampai pemikir modern di luar Islam tertarik mengkaji startegi perang yang dipakai Khalid bin Walid.

Ini yang saya sebut lagu yang tak hanya ramai dengan simponi nada, tetapi ada nadi hidup karenanya. Ada kehidupan juga peradaban lahir karennya. Sebuah karya menarik dari produk berlandaskan iman berkobar di dada.

Atau bisa jadi saya keliru, keliru memahami seni itu apa. Sejatinya yang saya tuju itu laga. Medan laga yang melahirkan peradaban dan nilai esksitensial. Bukan yang semata dipuji para pakar sejarah, akan tetapi ada landasan teologis yang di ilhami dari ajaran hanif. Demikian ada kerancuan di sini.

Sebagimana tersebut, bisa saja ini kategori baru. Apabila punya pernyataan berbeda, bukan ada yang kesalahan. Justru dari kesan salah kita perlu merenung akan makna lughowi tersebut. Lagian ini hanya asumsi. Tak harus benar, intinya ada diaroma pemikiran di jagat media ini. []

Pandeglang  |  23 Agustus 2021





Kutipan di kumpulan otobiografi para sahabat

Posting Komentar

0 Komentar