Menertawakan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib Perihal Wanita


Lucu sekaligus tragis membaca catatan harian mereka. Dua aktivis yang vokal tetapi tak berdaya bertempur dengan dunia asmara. Rasa memupuk juga melumpuhkan keberanian mereka. Saya menertawakan mereka; kok mereka gak berani. Seolah saya sudah sukses daripada mereka.

Padahal apa yang mereka rasa tak jauh naas dengan mental saya, tak mau ambil resiko dan tetap tenggelam di lautan klise: cinta tak harus memiliki. Padahal itu hanya suara ketidakberanian dan tumpulnya mental tegar.

Lelaki selayaknya tidak mudah menyerah dan mau ambil resiko akan rasanya. Wanita adatnya memang menunggu dan laki-laki harus menjemput rasa itu, sebelum di datangi orang yang menginginkannya.

Sukses dan gagal bukan akhir. Terpenting proses dan langkah. Itu sejatinya sikap dan pengorbanan.

Apa berarti dua sosok memang cemen?

Setelah saya renungkan masak-masak bisa saja alasan mereka karena ingin fokus pada hal yang urgent karena tak mau dilalaikan pada hal yang pribadi. Mereka lebih memikirkan yang besar daripada yang kecil, bukan hanya tak berani.

Fase ini yang gagal dipahami oleh mereka yang belum mengalami. Acapkali mereka mencaci dengan dalih pembenaran dirinya, padahal tiap jiwa berbeda. Adapula yang tak sama, tujuannya sama. Adapun yang sama kita tak bisa menyimpulkan sama aslinya. Selalu ada rahasia dan resiko yang ada.

Demikianlan asmara selalu punya cerita dalam jalannya. Siapa yang bisa mengungkapnya beruntunglah ia dengan itu, yang gagal biasa menangisi apa yang telah ada. 

Bagaimana menurut pembaca, apa in benar adanya? (*)

Pandeglang |  27/8/21

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar