Merenungkan Kualitas dan Totalitas Sahabat Nabi

"Satu hati," katanya, "tidak bisa menampung dua cinta." 

Itu jawabnya saat ditanya kenapa tak menengok ke belakang saat hijrah ke Madinah. Ia rela meninggalkan anaknya, istrinya, ayahnya, dan seluruh harta dimilikinya. Baginya, nabi dan perintah Allah adalah segalanya.

Ketika ada perintah untuk bersedekah, ia memilih menyedekahkan seluruh hartanya di jalan Allah. Maka nabi tanyakan padanya, "apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?"

Lalu ia tegas menjawab, "aku telah meninggalkan Allah dan rasul-Nya!"

Begitu tulus, begitu totalitas, dan murni mencinta pada nabi dan segala risalah-nya di ikuti tanpa alasan dan dalih keraguan.

Siapakah ia?

Itulah sahabat Abu Bakar as-siddiq. Sosok sahabat utama, sosok yang dekat dan amat tahu nabi. Menemani di perjalanan hijrahnya. Saat yang kritis lagi menentukan itu, ia setia menemani dan tak henti membenarkan juga memperjuangkannya.
Allah pun memuji dan mencatat kisah hijrahnya di surat at-taubah.

Di abad ini sosok itu amat sulit ditemukan. Selain berani juga bijak. Tak hanya itu, terkenal dermawan pula. Saat para sahabat diterpa badai kesedihan dan kehilangan akan wafatnya nabi, sampai ada yang memilih keluar dari agama suci ini. 

Maka Abu Bakar berbicara dengan bijak di depan mereka,

"Siapa yang beriman kepada Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Siapa yang beriman kepada Allah, maka Allah tetap hidup."

Lalu dibacanya ayat yang menerangkan terkait itu. Diam dan hening, kemudian banyak yang tersentuh juga tersadar akan hal itu. Ya, benar, nabi juga mati seperti utusan yang lain. Tetapi Allah abadi. Siapa yang memuja dan beribadahnya, tak akan ada akhir. Allah digdya.

Gambaran ini mengingatkan saya pada tulisan ulama besar dari Turki, Muhammad Fetullah Gullen bahwanya saatnya kita bangkit dan membangkitkan iman di dada. Gali potensi diri. Songsong masa depan dengan tidak lalai pada Islam. 

Hanya pada sahabat kita bisa belajar apa itu ketulusan, keikhlasan, dan apa arti perjuangan dalam taat. Pengorbanan bukan berharap duniwi. Jaminannya pun bukan popularitas.


Hari ini, kita dijajah oleh penyakit wahn. Wahn itu takut mati dan takut miskin. Begitu yang disabdakan nabi 14 abad yang lalu. Untungnya, masih banyak yang mau dan terus mengikuti langkah para sahabat meski harganya dikucilkan dan digelar apa yang aneh. 

Ini baru gambaran satu sahabat mulia, bagaimana kalau semuanya? Siapkah kita berusaha mengikuti jalan suci itu? (*)

Mahyu An-Nafi  |   22 Agustus 2021

Posting Komentar

0 Komentar