Sebuah Pertanyaan Diri

Filosof Rere' Descrates pernah mengatakan, 'jangan pernah berhenti bertanya'. 

Karena dari tanya itu kita akan sampai pada pintu bahagia. Atau setidaknya akan sampai pada pikiran nyaman, yakni sebuah realitas hakikat. Lahir dari renungan panjang, dari pencarian panjang pula.

Memikirkan ini, timbul aneka tanya di dalam pikirian saya: apakah saya sudah bahagia dengan pilihan saya sebagai pedagang kopi, penulis aktif di blog, terus berbagi pengetahuan, belum juga mengakhiri masa lajang, merasa cukup dengan apa yang ada, dan tetap percaya akan rencana waktu yang belum jelas arahnya ke mana. Sedang yang lain sudah ke mana dan diri saya masih betah terus mengoleksi mimpi, buku, asa, dan gerakan moral yang dipahat indah di "Dinding Kata". 

Hal itu terus saja menganggu dan terus saja saya ajukan kepada diri. Tak lain agar tahu diri saya siapa dan bagaimana sejujurnya saya. Kepada orang lain bisa saja mengaku "telah bahagia" tetapi apakah itu suara hati yang berangkat dari jujurnya nurani

Jangan sampai pendustaan suara hati karena ingin disebut "sukses", di dasar hati lagi-lagi ada beragam luka dan noda yang disimpan di ruang tersembunyi; tak ada yang tahu, tak ada yang kenan tahu; hanya diri dan Allah saja yang Maha Tahu isi hatinya sejujurnya macam apa.

Bagi saya inilah jalan pencarian makna dari hakikat hidup saya: akan ke mana dan apa maunya seperti apa. 

Dalam hari di medan realitas saya melihat dan sering merundukkan juga merenungkan kehidupan orang. Misalnya orang punya harta. Saya tidak iri, hanya tertarik mencari juga menggali seperti apa rasanya punya harta.

Apa dia tambah dekat Rabb pemilik masa; Apa dia bisa punya peka nasib orang yang belum punya; apa dia bisa menghisab diri sebelum dia nanti dihisab; gampang dia menikah, punya anak, prestise dan prestasi diri; apakah itu semua telah menempatkan pada hidup bahagia sebenarnya?

Pada dia yang kerja dan gaji lumayan. Apa itu juga memberi nyaman dan tenang jiwanya; apa halnya dia telah punya malam yang konsisten munajat pada-Nya.

Pada para penulis dan pencari kebenaran apa sudah cukup memberinya makna bahwa bahagia bukan hanya pamer dan kata belaka, harus ada aksi nyata dari olah sikap yang tak kenal lelah; apa hari mereka telah sesuai dengan apa yang sering mereka ucap dalam deretan karyanya. Ya, sudahkah itu?

Pada mereka yang sering memakai kopiah dan surban suci itu, pahamkah arti dan esensi itu sebenarnya? Tak hanya cuap dan hormat yang diharap, tetapi ada nilai sejujurnya untuk apa.

Apapun itu, menggali realitas dari kedalaman jiwa yang tulus, ya bagaimana adanya... memang tak mudah, akan tetap harus punya nilai pasti.

Ketika memilih satu jalan seharusnya saya menyadari jalan itu harus mengantarkan saya pada gerbang yang menentramkan jua membahagiakan. Bukan kata orang, lebih mengarah pada ketulusan yang ada. Maknanya ofensif bukan defensif. Reaksional juga rasional langkahnya. Tak hanya sensasional tanpa ada hakiki nilainya.

Pertanyaannya kemudian: nilai diri apa yang saya kejar? []

Pandeglang |   26/8/21

Posting Komentar

0 Komentar