Ini Arti Santri Menurut Abuya Dimyati Pandeglang

Saat tengah membaca buku, ada dua santriwati lewat di depan saya. Secara refleks saya melihatnya. Dan entah kenapa teringat teori Dr. Clifford Geertz terkait tiga kelas sosial di masyarakat Jawa: kelas Santri, Abangan, dan Priyayi.

Tiga kelas sosial yang punya ciri dan karakter yang menarik. Kalau santri mereka yang terkenal taat pada agamanya, abangan itu biasa dan pertengahan dalam beragama, priyayi itu kelompok elit/bangsawan dalam beragama biasa, akan tetapi lebih menyukai adat dan ajaran nenek moyangnya.

Sinjang (sarung) menjadi adat pakaian santri. Itu yang digunakan dua santriwati tadi. Fungsi budaya itu memperindah sesuatu. Memperbaiki juga mewarnai agar sesuatu menarik untuk ditatap. Dari sana ada estetika terpancar. Bagian sebuah kekayaan lokal. 

Sinjang itu busana yang acapkali digunakan penduduk lokal, santri dan dan santriwati termasuk yang biasa-membiasakan. Sehingga ini menjadi simbol dari dunia pondok. Pondok dan sinjang menjadi bagian darinya.

Sinjang punya fungsi beragam. Menutupi aurat menjadi poin utama. Ini sesuai sekali dengan ucapan allahu yarham Abuya Dimyati memaknai santri itu terdiri dari deretan makna. Santri (سنتري) dibentuk oleh kata س-Ù†-ت-ر- ÙŠ yang berarti:

1. س  itu bermakna سطر العورة yakni menutup aurat. Maka hendaknya santri wajib memperhatikan busananya. Baik secara jasadi maupun ruh. Karena dia bisa jadi teladan dalam ketaatan. 

2. ن itu bermakna ناءب العلماء yakni wakil daripada Ulama. Sedangkan Ulama ialah pewaris para Nabi. Pendeknya, santri harus bisa menyadari tugas juga amanah yang diembannya kelak. Semangat belajar dan menggali hikmah yang terserak di khazanah keilmuan, baik dalam kehidupan maupun kitab-kitab yang menjadi rujukannya. Ada tugas besar yang bakal dipikulnya.

3. ت yakni ترك المعصية  artinya menjauhi hal yang berbau maksiat, sia-sia, dan fokus menyempurnakan amal harian. Tentunya dalam hal baik. Apa ilmu yang diketahui diamalkan dalam keseharian. Ilmu yang baik itu saat ia serasi antara kata dan kelakuan. Ini akan memberi wibawa dan value. Karena darinya bisa melahirkan kader yang bisa menjawab keresahan atas kenakalan yang ada.

4. ر yakni راءس العمة berarti pemimpin Ummat. Seorang santri pasca kelar di pencarian ilmunya akan dibutuhkan Ummat untuk jadi pembimbing dan guru dalam hal syariat. Secara sederhana ia akan jadi pemimpin. Seumpama kapal di lautan, ia akan jadi nahkoda. Selamat atau tidaknya jamaah tergantung bagaimana ia mengarahkan. Penting adanya untuk bersikap bijak lagi asih agar citra Islam menjadi hal menarik.

5. ي yakni يقين. Seorang santri dituntun percaya juga yakin akan qodo-qodar Allah. Tidak mudah mengeluh apalagi kehilangan rem dalam kehidupan. Dalam soal rizki ia yakin, lancar atau tersendat tetap itu keputusan Allah.

 Tetap mengajarkan ilmu tanpa berharap nilai materi. Semua ikhlas karena-Nya. Berharap ridha-Nya. Tidak pura-pura apalagi sekedar ingin dikenal saja. Berat memang, tapi mereka yakin karena itu thoriqoh yang Ulama contohkan.

Sejarawan sendiri banyak mengatakan kata santri itu berasal dari kata sansakerta, sastri. Sebutan untuk pencari ilmu dalam agama hindu, yang mereka tinggal di padepokan yang dipimpin oleh seorang Resi yang terkenal keilmuan juga kesaktian.

Sehingga ini istilah di Islamkan atau di asimilasi oleh para Ulama Nusantara sebagai bagian strategi dakwah. Ajaran Islam agar mudah diterima, menyerap, dan tidak ditakuti. Proses pribumisasi, begitu istilah GusDur, berhasil mengislamkan dengan nilai-nilai humanis lagi menentramkan jiwa.

Dari pemaparan ini, kita bisa memahami betapa dalam makna dari muatan istilah santri ini. Ada tanggung jawab juga pesan berantai yang harus diemban. Wajar sekali, Nabi memberi penghormatan khusus pada pakar agama. 

Sejarah bangsa begitu manis mencatat bagaimana sumbangsih nyata lagi besar kalangan santri baik pra-merdeka maupun pasca-merdeka. Tentu saja, ini harus jadi pegangan kuat dan teladan generasi sekarang, di balik kata santri ada cerita, rahasia, dan pesan dalam. Hanya yang tidak tahu mereka yang melecehkan. Wallahu 'alam. [Di ambil dari berbagai sumber]

Pandeglang   |   29 September 2021

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar