Kalau aku mengatakan: kalau jodoh, sejauh apapun kita saat ini, maka akan mudah saja menemukan jalannya.
Apa menurutmu itu kejam?
Ya. Kamu yang kini tengah sibuk di sana dan tak mampu aku dekati, tak mampu aku menyelami lautan rasa yang tengah berkecambah ini.
Aku memang tidak berani, tepatnya belum memberanikan diri. Kamu tahu kenapa? Aku masih ragu. Ragu menanyakan apa rasa ini benar, apa hanya rasa sementara yang tak lama lagi lesu.
Di sini, aku hanya menatapmu. Menatap eloknya wajahmu. Mengimajinasikan rasaku dengan rasamu. Menerbangkan angan. Terus saja mengantarkan kita pada dimensi cinta yang penuh cerita.
Kenyataannya berbeda. Aku tetap saja belum melangkah. Kalau melangkah untuk apa dan kenapa. Itu rentetan kata yang menyerang jiwaku. Bisa jadi ini tanda aku peragu. Aku pembimbang. Atau apalah.
Sebagai jiwa aku menerima. Tetapi tidak sebagai naluri kelelakian. Karena jiwa lelaki biasanya manfestasinya mendapatkan akan hasil langkah, tidak menyerah karena keadaan. Berat. Itulah simbol kejantanan.
Bagaimanapun aku nyaman begini. Aku tengah menunggu momen. Saatnya ada akan aku tangkap dan yakinlah, kamu tak akan ragu lagi dengan sikapku lagi.
Diamnya hari ini jawaban esok kita yang penuh canda, ada ceria, dan menorehkan apa yang kita cita-citakan. Hampas lelah akan jadi saksi, semakin banyak kian menumbuhkan harap. []
0 Komentar
Menyapa Penulis