Saat Kita Tak Punya Apa-apa

Saat kamu kumpul dengan teman-teman, awalnya biasa saling sapa dan bercanda. Lama-lama karena tak ada lagi kata yang ingin diucap, mengambil hape di kantong dan memainkannya tepat di hadapanmu.

Jiwamu pun mengerutu: Ya Allah, mereka punya hape sebagus itu, nah saya? Sudah ketinggalan mode, sering eror, kuota pas-pasan, dan memori juga kurang memuaskan.

Kamupun terus menggerutu sambil mengelus dada. Tetap ada hawa panas terasa. Istigfar terasa tak ada makna. Bukan, bukan istigfarnya yang tak benar, jiwanya saja yang tengah tak normal.

Kamupun memilih pulang. Menunggu di tepi jalan, berharap angkutan umum lewat di sana. Sayangnya, lama juga ada. Dan yang lagi buat pikirmu mumet, kamu melihat temanmu berboncengan di motor dengan pacarnya. Cantik jua. Begitu serasi. Berbincang hangat.

Kamu intens memperhatikan, sekalipun mereka tak menggubris adanya kamu. Karena tengah sibuk berbincang dan merasa dunia milik mereka.

Ya Allah, enak banget macam mereka. Romantis memadu cinta. Tidak macam saya yang tiap hari naik angkutan umum, sengaja tak jajan agar punya uang lebih. Orangtua mereka kaya dan baik. Nah saya, hari-hari hanya kumpulan masalah dan kepungan derita. Lelah..

Tak lama, angkutan umum pun datang juga. Kamu naik dan lumayan penuh. Tak apa. Sudah biasa. Pak sopir pun menarik pedal gas dan mobilpun berjalan. Dia menghitung pendapatan harian. Wajahnya nampak kusam. Mungkin belum tembus setoran.

Kamu masih asyik memperhatikan itu, tak lama hape jadul Pak Sopir berbunyi. Ya, hanya hape jadul. Dengan senyum yang entah apa artinya, terjadilah pembicaraan.

"Wa'alaikum salam bunda. Iya, ini sedang di jalan."

"Jangan lupa Yah, ini sudah jam satu. Jangan lupa shalat terus makan. Itu kan sama bunda udah di simpan di dasbor!"

Suara itu terdengar lembut. Kamu tahu, karena si sopir me-loudspeaker. Tak hanya kamu, penumpang lain yang mendengar ikut tersenyum.

"Iya bun, makasih ya. Ini tinggal bentar lagi kok."

"Iya, Yah. Tetap semangat. Assaamu'laikum."

"Wala'alaikum salam," Pak Sopir menjawab. 

Senyum itu masih tersemat di sana. Meski pandemik memukul pendapatan dan memaksa pengiritan, karena adanya aturan yang memberatkan. Lihatlah, Pak Sopir memilih tetap semangat. Ia tak ingin menyerah. 

Sapaan cinta dari rumah melembutkan jiwanya. Dan itu juga menyutik semangat yang mulai pudar. Ternyata dunia tak seribet yang kamu duga. Suara itu juga mengingatkanmu pada ibumu. Sosok yang tak lelah membagi cinta dan sering menasehatimu.

"Jangan iri dengan karunia yang Allah berikan pada orang lain," kata ibumu, "karena kita tak tahu kalau itu diberikan padamu bisa saja hanya menjerumuskan kamu pada hal yang tak kamu harapkan."

Ya. Hari ini kamu tersadar dan baru paham. Ternyata, hidup itu terletak pada sikap kita menyikapinya. Bukan pada apa yang kita miliki atau orang lain miliki. Kita cukup bersyukur, menikmati, dan terus melakukan hal terbaik maka kita akan memiliki apa yang istimewa. 

Sekalipun kita tak memiliki apa-apa, sejatinya kita telah memiliki kekayaan yang banyak orang lain tak memilkinya. Semoga kamu tetap bahagia. (*)

Pandeglang  | 14/9/21

Posting Komentar

0 Komentar