Keluh Ibu Sepuh

Di usianya yang sudah senja ingin istiqomah di rumah. Fokus menata diri dan mengumpulkan bekal untuk di kampung yang abadi nanti. Namun keadaan berkata lain, harapnya ternyata belum izinkan dirinya istiqomah.

Tiap hari bergelut dengan kebutuhan. Mencari sekepal rizki di pasar. Berangkat pagi dan pulang sore hari. Terus begitu. Tahun berjalan. Di matanya terlihat semangat dan sisa kecantikan. Ada keteduhan juga sisa kesedihan.

"Pusing Emak mah," katanya tadi siang. 

"Mikirin itu anak yang sakit-sakitan. Berobat ke sana ke mari tak jua menemukan kesembuhan. Bingung mau gimana lagi."

"Memang Ka Li belum sembuh Mak?"

"Belum. Mana istrinya kayak peduli. Setidaknya harus ada bahasa apa kek, nah, ini diam saja. Padahal kurang apa selama ini anak emak? Dan kurang apa emak, itu semua yang dibawanya dari siapa?" Dengan berkaca-kaca.

Mendengar keluh itu hatiku teriris, jiwaku pun terasa tersentuh. Betapa banyak perjuangan seorang Ibu. Kita seringkali lalai. Mungkin begitu ya, kalau menikah emaknya setengah hati merestui.

Ini terus berdengung di telinga, entah bagimana kalau aku jadi dia yang tergolek sakit itu dengan isteri butuh nafkah dan empat anak hasil cintanya. Apa aku kuat dan mampu bertahan? Wallahu 'alam.

Kalau berpikir jahat sih mungkin kita bisa bilang gini: apa masalahnya? Toh itu masalah dia, kenapa harus ikut campur jauh ke sana. Tetapi jawabannya berbeda kalau kita yang mengalami. Bisa jadi menggerutu: sial. Kemana mereka yang punya kepekaan? Kok saat aku sendiri tak ada menemani di sini?

Melihat Emak itu aku berpikir, bagimana kalau ibuku pun demikian bila saja aku kekeuh dengan kehendakku? 

Oh, no. Betapa nelangsanya hatiku menyaksikan. Aku berusaha untuk ikut dan manut dengan tulus dan ikhas.

Untuk emak itu, semoga lekas sembuh luka anaknya dan apa yang diharapkan dimudahkan Gusti Pemilik Jagat. Wallahu 'alam. (*)

Posting Komentar

0 Komentar