Dulu dan Sekarang, Kok Beda?

Namanya Ozi. Dia teman sekolah dari semenjak MTS sampai MA di Al-Falah Karang Tanjung. Sosok yang baik, ramah, dan tidak neko-neko. Sampai saat ini, rasanya cuma dia deh di antara deretan nama yang masih akrab.

Saya masih ingat, saat menggebu belajar motornya itulah yang jadi korban kecerobohan saya. Padahal sudah di kasih tahu, motor itu tidak punya rem dan gas-nya itu kabur. Ya, saya tahu. Cuma rasa bengal karena ingin cepat bisa mendorong saya untuk nekat. Nekat mengendarai di tempat sempit.

Kalian tahu apa yang terjadi? Motor itu menabrak tumpukkan batu sampai melukai tubuh saya juga adek yang ikutan naik, dan sedihnya menyebabkan kerusakan di motor itu. Serba salah dan takut menghampiri. Saya takut dimarahi emak dan minta tanggungan biaya atas keruskaan tersebut. Punya uang di mana coba, wong masih sekolah.

Hebatnya Ozi tak mempersoalkan itu dan menerima apa yang terjadi sebagai ujian. Tragedi tak menjadi pintu konflik antara kami. Meski tak seperak pun saya ganti rugi, bahkan  kadang sering mengorek kejadian itu agar dia merespon gimana gitu, dia bergeming. Saya membayangkan bapaknya marah-marah di rumah karena motornya itu, itu karena saya dan dia menanggungnya.

Saya masih amat ingat kejadian itu dan masih terasa konflik yang mengahantui. Hari-hari yang mencemaskan. Makanya kalau ketemu Ozi seolah saya melihat cerminan dosa masa lalu. Betapa saya lari dari tanggung jawab dan melepaskan beban luka psikis itu lama. 

Bagi saya, dia baik. 

"Harusnya, kamu yang ada di posisi saya. Kamu kan, punya talent itu." Katanya suatu waktu.

Saya hanya menanggapi dengan senyuman. Justru saya kagum dan bahagia dengan apa yang dia capai sekarang. Tak menyangka saja, sosok yang sering kena bully itu bisa menjelajahi ibukota dengan mandiri lagi percaya diri. Sesuatu yang tak terpikirkan.

Padahal sewaktu sekolah saya yang paling ambisius merantau ke ibukota. Pergi mengejar cita-cita ke sana. Dia pasti tahu itu, tapi nasib berbaik hati untuk mengantar dia ke sana dan membuah betah saya di kota kelahiran. 

Dulu dan sekarang bebeda, kita hanya bisa merencanakan. Tetap Allah yang menentukan nasib kita bagaimana nantinya. Pastinya pun sama. Poin pentingnya bukan itu, tetapi bagaimana dengan posisi kita di mana saja bisa makin dekat dengan-Nya dan buat hari kita tentram. Tidak mudah terkapar oleh angan semu tanpa makna apa-apa. 

Inilah jalan kita Zi, kamu di sana dan saya di sini. Bukan untuk pamer siapa yang paling sukses, dan apa saja yang sudah didapatkan. Sejatinya, kita harus mensyukuri apa yang Allah beri dan menjadikan ini ladang pahala. Menyebar kebaikan di mana saja. Semakin sukses kita makin banyak kebaikan kita lakukan. Begitu loh rumusnya... setujukan? *idih maksa! Hahaha (*)

Pandeglang |   8 Oktober 2021

Mahyu an-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar