Menyapa Jiwa

Duhai jiwa,

Kenapa kamu harus malu mengakui rasamu. Jujur akan semua getaran yang ada. Bukankah dengan diam dia tak akan tahu dan bisa jadi tak akan tahu. Sedangkan kamu berharap pada takdir baik.

Kalau kamu tetap memilih diam, jangan salahkan dia memilih disapa orang lain atau sudah di dekati orang lain. Karena kebanyakan orang senang menunggu dan disapa duluan. Itu tidak buruk, meski terlalu pasrah. Karena segala sesuatu butuh langkah. Langkah itu yang menuntun dan awal mengetuk jiwanya.

Menyapa duluan tak selalu negatif, tak selalu agar kamu memiliki dia. Apalagi berpikir dia tahu semua rasamu, tidak, karena dia punya pintu di jiwanya dan selama ini kamu hanya mengetuk dalam doa--diam, apa tak berlebihan berharap lebih tanpa langkah?

Duhai Jiwa,

Katanya lebay terus membicarakan rasa dan hanyut di lautan nama dia. Entahlah, yang aku tahu rasa itu begitu saja menyatu dalam hari dan memeluk dalam nalar. Sebuah nama yang mampu di eja, sampai saat ini belum mampu dimiliki. Apa ini kelemahan jiwaku atau belum saatnya saja menggores cerita antara aku dan dia.

Duhai Jiwa,

Sekiranya dia sudah dicuri hatinya oleh jiwa lain, kamu jangan marah. Benci sampai mencaci berlebih. Tak terima, boleh saja. Tak mudah menerima kenyataan yang ada itu dipahami. Ada yang harus kamu pahami pula, saat kamu hanya diam itu tandanya sudah siap menerima konsekwensi dari sikap diam tersebut.

Kamu jangan sampai oleng pijakan. Terima dan jalani kenyataannya. Dia berhak bahagia seperti kamu bahagia. Jangankan beratkan dia dengan inginmu lagi. Doakan dan ikhlaskan. Sesuatu akan terasa menusuk saat kita terus memegangnya. Seumpama arang, ia akan panas terus dipegang, lepaskanlah agar sisa api yang ada padam. 

Duhai Jiwa,

Sementara orang memilih mengikuti getaran hatinya. Tak peduli dia tak mau, tak peduli dia sudah dimiliki, dan tak peduli kenyataan yang tak sama dengan inginnya. Langkah yang dia ikuti hanya menjerumuskan pada wajah buram. Menambah noda dalam harianya. Itu sungguh membebani, tapi harus terus  bertahan.

Padahal menyapa bisa saja menentramkan jiwamu. Sedikit mengobati gelombang yang ada. Meski untuk memulai itu ada pengorbanan dari keberanian. Bagaimanapun, akan rasa berbeda dari hanya diam. Jiwamu terasa  lebih ringan, lebar, dan terbuka. Ada malunya, tetapi ada senangnya terasa begitu kentara dan nyata.

Terserah kamu, mau percaya atau tidak. Kamu akan tahu saat mulai menjalani dan melangkah. Kalau tetap diam, aku tidak tahu akan seperti apa selanjutnya. Semoga sama dengan apa yang kamu harapkan. Aku bukan ingin menakuti, pada dasarnya sesuatu akan punya resiko... untuk itu, siap-siap saja dengan apa yang telah kamu lakukan. (*)

Pandeglang |  5 Oktober 2021

Posting Komentar

0 Komentar