Jodohnya Surti

Sumber/Humairoh.com

Namanya Surti. Kata orang hidupnya tidak bahagia. Ukuran tidak bahagianya dia masih kekurangan dan statusnya belum kawin. Padahal dia cantik, padahal dia turunan ningrat, dan dia berpedidikan cukup tinggi. Anehnya, siapa yang ingin mendekati dia dengan niat serius selalu kandas di tengah jalan.

Kata orang gara-gara bapaknya galak; kata yang lain dia terlalu tertutup; katanya juga gelar kebangsawaanannya. Ada saja alasan orang terkait Surti. Yang paling mengerikan katanya itu, kutukan! Entah benar apa tidak, saya tidak tahu kebenarannya. 

Sekilas lalu, dia tetap ceria menjalani hidup, tidak neko-neko dan tidakk ambil pusing terkait statusnya yang masih lajang. Apa yang diomongkan orang sudah dia dengar dan tahu pastinya, tapi dia enjoy saja. Katanya itu bagian dari takdirnya. Orangtuanya pun tidak mau dibuat ribet dengan sikap dan pilihan anak gadisnya. Mereka ikut enjoy juga.

***

Namanya Rasti, dia tetangga dekat Surti. Dekat tapi kenyataannya selalu jauh. Ada gap di antara mereka. Dia tidak terlalu cantik, pandai bohong dan sudah tidak single lagi. Keperawanannya sudah direnggut orang yaitu pacarnya. Kabarnya di belakang toilet umum. Gelap dan cukup meneyeramkan. 

Tidak bagi Rasti dan pacarnya, karena dorongan syahwat yang begitu bergelora mereka lepaskan hasrat tak peduli tempat. Semua tidak habis pikir, kenapa mau kuda-kudaan di sana? Di mana letak kehormatannya sebagai wanita? Di mana harga diri yang amat tinggi? 

Orangtuanya sempat marah saat anakknya terkena grebek. Lama-lama mereka pasrah. Kenapa marah? kemarin ke mana saja saat tahu anaknya pacaran dengan anak Pak Lurah di luar batas normal. Sekarang kok belaga suci? Sudah tahu kok tutup muka? Bukannya bertindak tegas malah mendiamkan anakknya yang bertingkah macam bule nyasar ke desa.

Kepada setiap orang cerita tentang pacar anaknya. Cerita pula keberuntungan anaknya. Gak macam anak tetangganya yang sudah berumur kok belum tersentuh lelaki? Tahu siapa yang disebut berumur itu? Ya, itulah Surti. Mereka antipati terhadap Surti sebab anak itu selalu jadi saingan anaknya. Anehnya sikap bapak Surti: apa pula membandingkan jagung yang utuh dan sudah terbuka?

Setelah nikah by accident, kehidupan Rasti tambah mujur. Sikapnya macam anak gedongan. Terlebih pas anaknya berojol, dia macam artis korea saja. Suaminya karirnya melejit macam harga BBM. Rumahnya pun makin "wah" seperti harga BBM yang main gila. Mulailah pamor di masyarakat naik. Mulai dielukan. Lupa siapa harus dihormati dan dimuliakan. 

Kata orang, meski mereka sudah kaya tapi busana hariannya macam orang gila. Banyak tambalannya dan kurang bahan. Tiap malam rumahnya ramai dikunjungi orang, musik memekak kan telinga terdengar sejauh satu kilo. Pak RT diam, Pak RW mesem, dan Pak Ustadz berani teriak di belakang saja. Begitulah nasib mereka, mujur katanya. Yang tak dipikirkan, ada virus merayap di tengah warga. Kira-kira, adakah yang peduli dengan itu?

**

Surti menyaksikan itu sanksi. Bukan karena iri dengan nasib temannya masa SD itu. Tetapi khawatir dengan ruang sosial di kampungnya yang berbalik 180%. Ada apa semua diam? Kenapa tidak mau mengoreksi apa yang terjadi? Sunyi sekali dengan kehidupan asri seperti biasanya. Nilai moral mulai meluntur sedikit demi sedikit.

Orangtua Surti sama merasakan kegundahan itu. Meski tahu resiko apa yang akan didapat, mereka akan berusaha menutup mata seperti mereka yang mencemooh status anaknya yang masih lajang. Ini bukan balas dendam. Ini kritik sosial. Murni lahir dari keprihatinan.

"Harus itu Pak, kita gak boleh diam," kata Surti. 

"Betul. Moral harus dijaga!" sahut ibu.

"Mari kita satukan prinsip merubah keadaan yang sudah tidak kondusif lagi," teriak bapak Surti di-aminkan ibu dan anaknya. 

Mereka sebarkan selebaran bahaya dari modernitas tanpa rem. Mereka pun undang pakar desainer terhadap pakaian yang kurang bahan yang merajalela di banyak sudut tempat. 

"Selain gampang bikin asup angin juga pemborosan," teriaknya di toa musola.

Grup-grup keluarga dan pertemanan di kampung mereka jadikan counter perlawanan.  Cepat tapi pasti, perlawanan dari banyak pihak pun yang yang merasa terganggu tak bisa dihindari. Rumah mereka penuh dengan teror. Oleh aparat culas mereka dijauhi, bagi warga awam mereka dicap racun, dan tak cukup itu upaya mengarah pada hal krimianal beberapa kali digagalkan. 

Surti lelah. Bapaknya capek. Ibunya jenuh. Kaum moralis yang membantu mereka pun sudah kenyang dengan permainan teror licik dari kolega mereka. Apa semua harus dihentikan? Mereka jadi simalakama. Kenyataannya, aktivitas di rumah Rasti makin gila. Tiap jengkal tanah yang diinjak di desanya hampir semua punya Rasti. Kekusaan mereka menggurita ke segala lini.

Di sisi lain, usia Surti makin bertambah dan entah bagaimana dengan statusnya itu.Kadang dia meradang juga dibuatnya. Mau gimana lagi, dia harus kuat dan tetap optimis menghadapi yang terjadi. Cukup sudah cemooh dari tetangga sebelah, dia tak mau lagi melihat ada duka di wajah ibu dan bapaknya.

Entah ini kabar baik, akhir ini, ada seseorang yang intens dia ajak ngobrol. Teman di sosial media, katanya laki-laki. Bisa benar, entah tidak. Tapi dia suka karena hanya laki-laki itu yang rajin meng-like dan komentar tulisannya. Lama-lama mereka akrab dan ngobrol tentang apa saja. Dia merasa orang itu tulus menemani kesendiriannya.

Surti pun sering cerita tentang aktivitas di kampungnya yang sekarang makin gersang. Dia cerita awalnya konflik dan apa yang dia lakukan bersama keluarganya merespons  bagaimana perlawanan dari banyak pihak. Dia cerita cukup detail dan laki-laki baik itu antusias mendengarkan. Dia makin nyaman di lautnya, karena ada seorang di sana yang memahami gerakan hatinya. Apa ini cinta? Hmm, efek terlalu jomblo lama kali ya? Mesem sendiri dia di pojok kasurnya. 

***

Dor!

Dor!

Dor!

"Semua yang di dalam harap tiarap!" 

"Semua tempat sudah dikepung, silakan menyerahkan diri!"

Suara menggema memecah keheningan malam. Semua warga menyemut di sekitar rumah Surti. TKP tepat di rumah Rasti. Kerlap-kerlip mobil pihak kepolisian mewarnai keriuhan itu. Surti yang baru terjaga dari tidurnya masih belum paham atas apa yang terjadi. Kegaduhan terdengar juga sedangkan orangtuanya di ruang tamu tengah di tanya-tanya oleh pihak kepolisian. 

Dari jendela dia menyaksikan kesibukan para awak media memotret kegaduhan terjadi. Polisi berahasil menggiring penghuni rumah di sampingnya, puluhan orang di gelandang dengan borgol di tangan. Tatap mata mengarah pada ke sana.

"Apakah ini Pak gembong narkoba itu?" tanya wartawati pada Kapolres yang tengah menggiring para tersangka. Mungkin karena dikejar waktu Kapolres menjawab ala kadarnya. 

Astagfirullah lirih Surti. Keluarga Rasti ternyata seorang pengedar ..., sungguh memilukan. Setelah seluruh penghuni berhasil di tangkap, polisi memasang garis polisi. Sirine menggema di sepanjang desa meninggakan tanya dan kekagetan. Ternyata, kekayaan yang selama ini di milliki Rasti itu hasil menjual barang haram. Betapa mudah kita tertipu oleh kesenangan sementara. Tak peduli efek dari 'kesenangan' itu belenggu ke dasar derita. 

Tak lama, fajar shadiq muncul di langit menandakan tak lama lagi waktu subuh akan segera tiba. Maha suci Allah atas segala kuasa-Nya menggulung malam yang gelap pada pagi nan cerah sebagai tanda kebesaran-Nya. Siapa yang lalai, itulah mereka yang terlena oleh megahnya dunia beserta hiasannya.

***

Sepekan setelah peristiwa kelabu itu.

[Siang ini aku mau ke rumah. Aku harap kamu dan keluarga ada ya. Salam buat ayah, ya!]

Inbox masuk ke akun facebok-nya. Surti kaget, apa maksud dari kalimat tersebut? jadi bingung, apa sesungguhnya yang terjadi. Cepat-cepat ia kelaur kamar dan tambah kaget melihat kesibukan yang terjadi. Berbagai hidangan tak biasa terhidang di sana. Ibunya nampak tersenyum bahagia. Bapaknya sudah rapih dengan batik solo-nya. Sebagian keluarga besarnya pun hadir di sana.

"Ada apa Pak, kok rumah rame gini?"

"Sudah cepat kamu ganti baju, mau ada calon besan datang kok pakai pakai baju gitu," celetuk ibunya.

"Besan? Besan siapa?" Surti mengerutkan dahi.

"Punya pacar Kapolres kok gak bilang-bilang, jahat kamu!" Timpal om-nya.

"Pacar???"

"Makanya kalau pacaran jangan di facebook, sekali-kali bawa ke sini. Jadi sekalinya apel, ya gini serba mendadak. Ada-ada aja orang sekarang tuh macam di bioskop-bioskop aja," koontan saja celetukan itu di sambut tawa seisi rumah.

Dada Surti terasa sesak. Antara bingung bercampur senang. Apa ini sungguhan? Jerit hatinya. Benaknya mengarah pada satu nama di inox itu: apa dia laki-laki itu? Entah bagaimana mengungkapkan perasaannya. Air matanya mengalir deras, begitu deras. Hanya sujud syukur dia lakukan. Lakal hamdu walaka as-syukru. (*)

Pandeglang |  22/5/2022    22:35


Posting Komentar

1 Komentar

Menyapa Penulis