Sehari Bersama Komisariat KAMMI di Seminar Literasi Menyongsong Peradaban Digital

Dokumen pribadi

Saya berangkat ke tempat acara sekitar jam tujuh lebih pagi. Sebelumnya saya harus ke pasar dulu. Membuka toko. Aktivitas rutin yang sudah hampir sepuluh tahun saya geluti. Itu sumber pendapatan di rumah. Kebetulan saya penjual kopi kiloan. Produksi sendiri langsung dari petani lokal. Mereknya Jempol.

Mungkin tahu ya merek itu?  Bukan tengah promosi hanya tengah cerita saja. Syukur kalau ada yang kenan borong. Ready kakak! 

Dengan semangat 45 saya hadiri acara kepenulisan itu. Modalnya sih nekat. katanya sih bayar, ya gak apa-apa. Segala sesuatu perlu modal juga. Dan ternyata sampai akhir acara gak ada yang nagih. Dasar mental gratisan, saya  girang bukan kepalang. Hahaha. Ilmu dapat perut kenyang, pengalaman nemu! Gimana gak beruntung kuadrat coba.

Dokumen pribadi

Pikiran saya gitu. Sebetulnya di hari minggu agenda saya akan ke komunitas Rumah Dunia di Serang, yang digawangi Kang Gola Goang itu loh. 

Qodarullah. Sahabat baik saya memberi info di gedung Setda tengah ada latihan kepenulisan, katanya. Diadakan oleh kawan-kawan komisariat KAMMI Pandeglang. Dia tidak ikut karena berbayar, eh pas saya bilang free dia kaduhung. Ada-ada saja.

Sesungguhnya yang membuat saya penasaran panitia mengadirkan penulis asli putra daerah. Debutnya sudah tercium. Entahlah saya belum tahu siapa itu penulis Pandeglang itu, yang masih aktif di dunia kepenulisan. Jujur saja, di Pandeglang ini saya cari penulis atau sastrawan aktif menulis belum ketemu atau bisa jadi saya aja kurang bergaul ya.

Pertama yang buat saya tertarik adalah sosok Kang Ayip pengurus Lingkar Pena Pandegang. Seperti apa dan gimana sepakterjangnya. Bagaimanapun FLP termasuk nama yang cukup familiar di telinga khalayak. Mungkin karena saya aktif di grup Bunda Asma Nadia juga pecinta dari karya kang Abik--katanya pendiri sekaligus pengurus pusatnya.

Karena itulah saya rela meng-cancle dan lebih memilih ikut di pandeglang. Alasannya sederhana, selain irit ongos juga ingin tahu perkembangan dunia sastra di Pandeglang seperti apa. Kota kelahiran sekaligus membidani proses kreatif saya. Saya pikir, kalau ada yang dekat ngapain pilih yang jauh-jauh. 

Rute yang harus saya lewati yaitu bundaran alun-alun. Mana ramai pula. Banyak yang tengah joging. Duduk dan ngumpul sambil ngobrol hangat. Selebihnya pada lari maraton. Efek dari itu ialah pengalihan lalu lintas. Hem, jauh lagi muter.

Sepanjang perjalanan itu saya melihat kemacetan di banyak ruas. Yang menonjol tentu para wanita dengan pakaian serba ketat dan terbuka berlari. Mereka tersenyum seolah luput dari hari di mana apa yang dipakai dan lakukan akan dipinta pertanggung jawaban. Tak ada dusta di sana. 

Untuk itu saya acapkali dibuat tidak nyaman. Sebisa mungkin dari dulu menghindari  pusat keramaian macam itu. Bukan apa-apa. Iman saya masih lemah. Selemah kerupuk terkena air. Saya takut iman itu rapuh lagi gugur terpuruk oleh pesona wanita di sana. 

Pastinya pembaca yakin tahu pesan Allah di surat An-Nur di ayat 30-31 tentang ghildu absar. Spirit itu terus saya latih daan coba terapkan dalam keseharian. Meskipun ya, namanya syahwat pintar saja mencuri pandang pesona terbungkus laging dan sejenisnya di banyak kesempatan.

Istigfar dan rasa bersalah terasa menusuk sukma. Bagaimanapun bergaul itu keniscayaan. Namanya makhluk sosial. Kalau mau selamat ya diam saja di ujung sunyi kamar kagak usah ke mana-mana.

Saya bertanya ke tukang parkir dekat kantor ducapil, di mana letak gedung Sekda. Katanya lurus saja. Nanti dekat Bank BRI tepat ada di situ. Hanya saya dibuat heran, ternyata di halaman Sekda dijadikan arena latihan karate oleh warga. Setahu saya biasanya latihan karate diadakan di gedung Gor Pancasila tapi ini kok di halaman kantor?

Kantornya memang ketemu tapi saya bingung di mana letak ruang oproom itu. Saya berkeliling di mana ada pusat keramaian mungkin itu tempatnya. Lebih lanjut saya bertanya kepada beberapa orang jawabnya sama tidak tahu ruang Oproom Sekda. Kantor Sekda-nya tahu tapi Oproom banyak yang tidak tahu.

Atas saran mereka juga saya lihat Google Maps. Saya tambah dibuat bingung, kok arahnya keluar menuju jalan. Posisi saya tepat di depan Perpusda. Saya kontak panitia cuma dapat ceklis dua. Lengkap sudah pencarian itu. 

Mulailah ada rasa jengkek terasa. Panitia acara nyaris tak tak ada menyambut di depan pintu masuk. Apa jangan-jangan ini piktif? Mana mungkin? Batin saya. Saat itulah tak jauh dari saya sekelompok wanita hijab yang saya duga akan mengikuti acara pula mencari tempat Oproom.

Jodoh memang gak ke mana kata pepatah. Saya beranikan bertanya, apakah mereka mau mengikiuti pelatihan kepenulisan. Satu orang mejawab iya dan saya tanya di mana tempatnya. Katanya, itu di depan. 

Masya Allah, ternyata tempat itu tepat di samping saya; selanjutnya hanya bisa tersenyum. Kalau dari tadi tahu, kenapa harus tanya sana-sini. Ruang Oproom itu ternyata ada di atas tepat di mana saya berkeliling. 

Tempatnya lumayan besar dan bagus. Ini kali pertama saya masuk ke sana. Saya disambut teman-teman dari kampus STISIP, ternyata dia kenal saya dan saya belum. Aneh juga lucu. Selidik punya selidik ternyata dia pernah karena pertama ke rumah, karena teman adik saya. Haha. Betapa sempit dunia ini. 

Ada kejadian cukup lucu pas saya duduk. Kang Haikal selaku moderator mendatangi sambi berisik, "Ini Kang Ayip ya?" tanyanya dengan sopan mengira saya narasumber dari FLP.

Saya tersentak. kaget. "Bukan Kang, bukan saya. Saya peserta," ujar saya tersenyum.

"Oh maaf, kirain Kang Ayip," katanya dengan tersenyum tertahan. Dalam hati saya hanya berseloroh, ada-ada saja. Boleh juga sih, ada tampang penulis beken jua nih jiwa!  

Narasumber Pertama: Kang Ayip dari Forum Lingkar Pena 

Acara di mulai sekitar jam sembilan. Kang Ayip perdana berbicara. Panggilan akrab dari Syarief Hidayatullah. Sunan gunung jati nama saya itu katanya saat memperkenalkan diri.

Kang Ayip memperkenalkan diri sebagai penulis, lahir di bulan Agutus dan cukup memiliki banyak hoby. Di waktu senja atau sore dirinya dilahirkan. Pernah mengecap pendidikan Di UIN Serang. Belajar di Rumah Dunia. Konflik dengan aktivis kiri. Dan lain sebaginya.
Pemaparan Kang Ayip bagus dan penuh keceriaan. Mungkin memang pembawannya yang ceriwis. Kami diberi kiat dan rumus-rumus menulis ringan. Ada rumus ABCD. Ada rumus ATM ( Amati, Tiru dam Modifikasi). Ada rumus kunci kata juga. Agak mirip sama pengajaran Bang Fahdevi alumni Monash University itu.

Satu kata yan masih saya hafal, "dari mata turun ke pena." Begitu katanya. 

Jiwa saya tergugah dan amat termotivasi. Ternyata menulis memang tidak sesukar yang dipikirkan. Lagian ada yang salah kalau mau punya karya terus berpikir dan memperhatikan teori menulis tapi gak diimplementasikan. Yang bagus itu terus menulis dan menulis nanti ujungnya bau memperhtikan teorinya.

Misalnya kiat dari mata turun ke hati di acara itu saya tulis begini : Saya pikir masuk ke gedung pemerinta itu horor. Biasanya harus ada aturan dan tetek bengek njlimet. Ternyata anggapan itu bisa saja. Bahkan di depan Sekda ada pelatihan karater. seahu saya isamnya karate.

Pokonya berkesan pertemuan drngan Kang Ayip, ada banyak ilmu juga pengalaman yang dirasakan. Moga silaturahim ini tak hanya di acara itu tetapi bisa dilanjutkan demi ukhuwah islamiyah.

Narasumber kedua, Kang Hilman dari Untirta Pers

Setelah break untuk Isoma acara dilanjutkan seitar jam 13:30 dibawakan oeh Kang Hilman. Muda dari Menes yang menjadi editor di Untirta Pers. Pembawanya santai tapi sedikit serius. Mungkin karena waktu mengisinya di jam tidur siang, agak mengantuk jadinya. Beda dengan pemateri pertama yang ceriwis.

Sepertinya ini disadari Kang Hilman terbukti mengakui apa yang disampaikan agak monoton tapi mudaha-mudahan ada manfaatnnya. Begitu katanya.

Ternyata usia Kang Hilman tak jauh dengan saya. Seisihnya hanya satu tahun. Saya kelahiran 93 dan Kang Hilman 92. Salut saya, di usia demikian sudah menjadi editorial di situs Universitas populer di Banten.
Penulis tengah bertanya (dokumen pribadi)

Berkat kang Hilman saya tahu perbedaan mencolok dari antara artikel, opini dan essay. Tadinya saya pikir sama saja.Hal ini sebenarnya yang buat saya resah. Alhamdulillah berkat Kang Hilman saya paham. 

Epilog

Dari acara Kammi kemarin tu saya amat  mengpresisi betapa literasi dan globalisasi seperti dua mata pisau di pusaran peradaban modern. Kini tengah menyodok kesadaran sosial kita disadari atau tidak.

Keduanya patut menjadi perhatian karena bisa jadi peluang dan kunci keberhasilan kita. Sebaliknya justeru menjadi bumerang akan eksitensi rasa kemanusiaan kita. Semua bagaimana kita mau memandang dan melakukannya dengan motif apa. 

Sukses buat kawan-kawan komisariat KAMMI Pandeglang sudah menyelenggarakan acara seminar dengan cukup baik dan benar. Semoga ke depan lebih baik agi. Selain itu bisa menaburkan aspirasi Islam yang meneduhkan juga mencerdaskan anak bangsa. Salam hangat dan hormat untuk teman semua yang hadir. []

Pasar Pandegang, 28 Juni 2022

Posting Komentar

0 Komentar