Hujan dan Pagi di Pandeglang

Rintik yang membasahi bumi Pandeglang disertai rintik jagung belum terhenti. Setia mencumbu bumi dengan kata dan nyanyian. Hujan aku terobos karena ada satu soal yang hendak aku lakukan. Tak peeduli dari sana ada kuyup di badan. Hujan ini mengingatkanku tepat di minggu kemarin, sehari dalam seminar di gedung Setda. 

Hujan yang nampak malu dengan kabut hitam tengah merayu, menunjukkan pesan-pesan. Kata orang, hujan itu kenangan. Setiap bulir yang sentuh bumi ialah titik dari perjalanan yang telah lalu. Di sana, ada direkam kebersamaan juga saat pilu bersama lembar cerita.

Bagimu mungkin berbeda, hujan hanya sekedar hujan yang layak dianggap biasa atau dicaci karena mengganggu aktivitas pagi. Tidak bagi mereka, si Anak Senja. Tiap titik hujan ada makna terselip. Rinainya bukan sekedar air sebab dari air semua bermuara.Justru dari sana bisa mengeja untaian kisah lampau dan nanti.

Hujan di Pandeglang itu bulir asa-- bagi setiap jiwa yang ingin melangkahi mimpinya dengan kusam. Penuh coret di labirin semu. Punya gerigi menyerap aspirasi gila. Entahlah. Semua murni merujuk pada apa yang diharapkan diri.

Terus ke mana langkah goyah kalaulah hujan semua berupah pahit. Deras. Memupuk duka yang makin lara.

Ah pagi, mungkin selaksa cerita biar hujan rekam. Bukan lagi membebani hati yang pilu. Sekarang menjadi cambuk memeluk segala pahit yang kita kenang. []

Pandeglang  3 Juli 2022

Posting Komentar

0 Komentar