Jalan Juang Sekarang

Ketika aku tergila-gila pada sosok Azzam di novel KCB, aku merasa itulah aku. Dia seolah gambaran apa yang aku lakukan. Itulah sebenarnya jalan yang benar dilakukan. Tidak harus terluka. Tidak harus pula merasa apa yang dilakukan itu sia-sia. 

Azzam termasuk pekerja keras. Demi tanggung jawabnya sebagai tulang punggung di keluarga selepas bapaknya meningga dia berjualan tempe dan baso di Kairo. Dia abaikan study yang seharusnya rampung empat tahun. Siapa sangka harus menunggu sembilan tahun. Kalau harus jujur dia itu cerdas, pintar, dan ulet. Kok sampe sembilan tahun belajarnya gak lulus-lulus?

Dia kerja mati-matian. Ego dan rasa bebas disingkirkan. Masa mudanya dihabiskan untukk pengorbanan. Tak sedikit yang mencemoohnya. Di matanya, biarkanlah orang lain terus mengenalnya sebagai orang yang fokus menjual tempe dan baso serta lalai akan pendidikannya. Sakit pasti cemooh itu. Mau gimana, wong mereka tidak tahu kenyataan di balik usaha kerasnya itu.

Sungguh dia ingin orang lain tidak tahu atas apa yang dia lakukan. Yang dia lakukan cukup Allah dan orang terdekatnya tahu. Itu saja. Itu citra orang ikhlas berjuang.
 
Akupun meraba diriku, apa sudah seperti karakter Azzam. Atau setidaknya mendekatinya. Apa yang kulakukan bukankah telah mengenyampingkan idealisme dan cita-cita yang telah di bangun semenjak aku sekolah? Betapa banyak mimpi-mimpi aku kubur untuk jalan sunyi sekarang ini?!

Akupun tidak malu, apa dengan mengaku telah bekerja sama saja aku tidak ikhlas dengan apa yang dilakukan. Lagi-lagi ikhlas. Apa sih artinya ikhlas itu?

Menurut guru, ikhlas itu tarku riya fitto'at. Artinya meninggalkan ria dalam ketaatan. Cirinya di antaranya tidak terus menyebut dalam melakukan amal baik. Terus saja melakukan tanpa membincang  tanpa mengharap sanjungan orang, coba faedah apa.


Sampai di sini akupun terdiam, apa aku t'lah ikhlas berjuang atas apa yang dilakukan?

Kalau Azzam sukses mengantarkan nasib adiknya ke pintu sukses, dan aku bagaimana? Husna menajdi penulis cerpen yang berbakat. Lia menjadi guru sambil kuliah. Si bungsu tengah menghafal al-Qur'an di pondok Kudus.

Aduh, aku malu sendiri. Kok rasanya membandingkan antara langit-bumi. Apa tidak terlalu berlebihan atas apa yang aku pikirkan itu ya. Lagian apa ada yang mampu membaca atas apa yang aku lakukan?

Hmm, mana ada.

Mungkin lebih selamat melakuukan seperti yang Azzam lakukan untuk menutup suara bising di luar: "Biarlah mereka bilang apa saja. Terserah mereka. Yang pasti cukup Allah dan orang dekatku tahu apa yang kulakukan itu tidak sia-sia." 

Kaalu sudah begini, selamat berjuang saja. Jadi ingat dengan buku Ustadz Salim el-Fillah yang menceritakan tentang nasib sorang kakak menjadi seorang petani di desanya. Ternyata, adik-adiknya bisa mengecup pendidikan tinggi. Apa yang dia lakukah semata-semata demi beban yang ditanggungnya. Beban itu telan dan hadapi sendiri. Tanpa keluh dan resah.

Ikhlas! 

Apa yang terlihat bisa jadi tak seperti hakikat yang ada. Begitu kata pepatah. 

Nah, gimana jalan juang aku selanjutnya. Eh, atau kamu gimana? Pokonya tetap semangat berjuang!  (***)

Posting Komentar

0 Komentar