Selaksa Mimpi-Mimpiku

Ilustrasi (dok. pribadi)

Hari ini, jujur saja aku tidak terlalu memimkirkan apa yang orang lakukan terhadapku. Biarlah mereka puas atas apa yang lakukan. Aku tengah melakukan apa menurutku benar dan Insya Allah baik. Kalaupun belum ada hasil itu cerita lain. Intinya aku tengah berusaha. Kenapa pula sibuk mendengar ocehan yang pastinya akan meruntuhkan bangunan mimpiku?

Manis tidak kah?

Mimpiku tidak muluk-muluk amat sih. Hal ini pernah aku kemukakan pada ibu dan saudaraku. Aku ingin memiliki toko-- terserah ngontrak atau milik sendiri-- di pinggir jalan yang strategis. Di sana akan di buka toko kopi dan buku-buku fiksi-non fiksi. Ragam bidang pokoknya. Tidak hanya itu, aku membuka jasa ketik dan sejenisnya. Tersedia komputer pastinya.

Jualan kopi itu tak hanya kiloan juga ada koi seduh macam di Aceh itu loh. Digliing langsung diseduh. Mirip di kafe tapi kelasnya lebih sederhana. kalau kafe terdengar elit gitu. Kursi ditata amat nyaman. Siapa mampir pasti betah.

kalau ke depan akan ada tempat pentas seni gitu. Ada panggung kecil di sana. Out door gitu. Ya, nanti akan jadi tempat nyaman siapa saja. Lintas kelas tanpa ada perbedaan. UNiuversal kata orang sekarang.

Tiap malam tetap meneruskan mengajar ngaji-- BTQ, baca tulis al-Qur'an seperti kata mending kakek. Terus dilakukan bentuk prihatin pada keadaan bangsa akan literasi tumpulnya.

Tentu saja ditemani istri setia yang sudah memahami karakter dan jalan juangku. Dia bisa menjadi mitra perjuanganku. Aku ingin sisa hidupku dilakukan untuk berbagi kebaikan. Tidak peduli orang resfek atau tidak. Toh, apa yang kami lakukan bukan demi penghormatan belaka. Pengen sih, bukan tujuan utama pastinya. Itu mah harap semu belaka.

 Role model kami sederhana: membangun rumah tangga sesuai anjuran pun semangat agama nan sederhana dan bernilai, Insya Allah. Hanya itu. Aku tak mau terlalu ambisisus ingin apa-apa yang halu. Aku yang nyata-nyata saja. Tidak glamour tapi memiliki esensi. Kelak aku berharap saat nafs ini tak ada lagi, darah dagingku tidak kelaparan dan sulit hidupnya.

Hari ini masih ditata. Satu yang aku selalu percaya, apa yang aku harap akan tercapai. Kapan waktunya dan gimana prosesnya aku belum tahu. Modalku percaya dan yakin. Sudah itu saja. Untuk saat ini, jalani saja apa yang bisa dilakukan. 

Aku jadi ingat obrolan dengan Emak tadi malam, katanya tetangga RT kami akan membangun konter. Kata Emak, konter itu apa. Aku refleks ingin trertawa dengan pertanyan polos Emak, takut dosa sih?

Aku katakan konter itu, ya tempat jualan kartu pulsa, hape dan lainnya. Aku katakan pada Emak bahwa melihat keadaan di kampung tren itu kayaknya itu kurang cocok.

Dari analisa sederhanaku, kalau ingin tetap mendirikan konter di kampung minimal harus punya komputer. Itu untukk jasa ketik dan sejensinya. Harapku pada Emak, hal tersebut ingin aku bangun di depan rumah.

Kata Emak, nanti banyak saingan. Kataku, saingan itu di mana saja ada. Sebuah kepastian karena bagian dinamika hidup. Ada yang gugur ada juga yang bangkit. itulah siklus. Masalahnya bukan itu, akan tetapi bagimana agar kita tetap bisa survive dengan tantangan. Itu namamya bagian daripada rintangan atas perjuangan. Aku pikir itu lebih soluktif tak terdengar imferior.

"Berapa dana dibutuhkan?" Tanya Emak tertarik. Aku jadi gelagapan.

"Kira-kira 10 juta."

Emak nampak mengangguk. Aku katakan pula dengan realitas sekarang rasanya kurang pas momennya. Bagaimanapun lemahnya daya jual efek pandemik dan keputusan politik berperngruh pada semua lini. Masih terasa dan menjadi keluhan banyak kalangan.

Aslinya aku masih ragu dan takut resiko,  ini tidak aku utarakan. Aku takut kegagalan itu membuat Emak terluka. Jangankan Emak terluka, dia terluka saja aku yang meradang duluan. Haha.

Oleh karena mimpi-mimpi di atas itu sejujurnya apa yang aku lakukan sekarang adalah manfesatasinya. Hal itu di mulai dari mengolah produk kopi sendiri. Tidak hanya itu membeli dan langsung mengolah dari petani di desa. Murni kopi lokal pokoknya. 

Kelak aku bermimpi untuk menanam kopi di kebun. Intinya punya perkebunan sendiri gitu. Entahlah, apa ini termasuk ambisius apa sekedar mimpi di siang bolong belaka.

Seperti yang aku katakan di atas itu, mimpiku hanya bermodal yakin dan percaya. Modalnya dua hal itu. Semoga saja Allah permudah dan pembaca aminkan ya. Tentu saja bukan paksaaan, ini permintaan dari seorang teman. Selebihnya, Allah Maha tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan inginkan. Hasbunallah wani'mal wakil. (***)

Posting Komentar

0 Komentar