Tidak Sekadar (Merasa) Sibuk

__
Kemarin sore tetangga saya meninggal. Seorang guru, pegawai dan baru saja pensiun. Meninggal jam 15.40 sore di rumahnya. Saya baru tahu sekitar jam 17-an setelah mengantar Emak belanja untuk keperluan di warung. 

Kaget juga, rasanya baru kemarin ketemu. Rasanya baru kemarin tersenyum. Ajal manusia, siapa yang tahu. Berjibaku saya membantu proses kelancaraan sampai penyalatan mayit. Sayangnya kemarin, saya tidak mengantar sampai ke kuburnya.

Perut keroncongan dari pagi belum makan. Kondisi cuaca kurang mendukung. Pokoknya gitu saja. Pengantar jenasah sendiri bisa dikatakan banyak, mungkin banyak kebaikan yang membekas di sekian hadirin. Begitulah menurut pepatah, gajah meninggalkan gading manusia meninggalkan budi. Budi itulah yang menjadi kesan mendalam.

Acara selesai sampai tahlil jami' pas di waktu isya. Di situlah aya baru bisa makan dan rehat. Kemarin saya merasa sibuk. Berlari dengan waktu. Larinya gak ke mana sih hanya sebatas kota dan kampung sendiri. Selebihnya alam pikiran mengembara ke berbagai hal.

Setelah itu baru bisa santai sambil nonton Habib Jafar dan Onad di Log In-nya Om Dedi. Tak lama, ada Mang Epi memberikan tugas untuk membaca Al-Quran di jam 03.00 - 04.00. Lengkap sudah dengan kesibukan satu minggu ini. Semua harus dijalani dan tak boleh dikeluhkan.

Saya memikirkan dengan kesibukan ini, apa mungkin mengantarkan pada mimpi saya? Mimpi yang kadang buat saya malu atau mungkin ejekan. Menulis misalnya, ya saya suka menulis. Ternyata tidak cukup hanya suka dan berlatih, menambah teori menulis atau apapun itu; itu bukan jaminan. 

Saya sering ketakutan dengan kematian menjemput justeru di saat merasa sibuk. Sibuk itu apa untuk ketaatan, demi Allah dan karena Allah. Apa hanya gaya-gayaan. Semua yang dilakukan gak cukup "merasa sibuk" kalau esensi tak ada. 

Kita boleh saja mengklaim apa yang kita lakukan untuk kebaikan dan untuk kebaikan. Itu hak. Hanya saja untuk memastikan gak bisa, itu ranah Allah. Allah yang berhak menilai. Untuk itu, kalau saya merasa sibuk dengan apa yang saya lakukan, masuk dalam kesibukan apa?

Kalau orang memanggil saya karena hobi sekali menulis, lantas pasti menyangka saya "sudah menjadi penulis" sungguhan. Sungguhan suka menulis iya, kalau disebut penulis sungguhan macam beliau harum namanya saya harus berpikir berkali-kali. Entah kali mana.

Sungguh rasa malu itu membuat saya berpikir saat orang bertanya: "Katanya sibuk nulis, dikenalnya kapan?"

Ah, serba salah. Apa sibuk itu karena kita yang mengatur. Kita yang merasa. Bisa jadi hanya iseng untuk disebut sukses saja. Dan yang pasti, sudahkah dari sibuk itu menghasilkan sesuatu? Sesuatu itu bisa jadi masa depan cerah, kekasih manis, calon sholehah, bukunya di bukukan atau berdaya dengan hasil tulisannya.

Kalau sekedar iseng dan merasa sibuk, apa untungnya? Begitu pula dalam bentuk apapun, tanpa niat yang benar dan tujuan baik, mungkin sia-sia. Kata Nabi, ada amalan yang perkara dunia tapi jadi berpahala untuk akhiratnya, begitulah sebaliknya, ada perkara akhirat hasilnya hanya dunia. Semua dikembalikan pada niat dan tujuannya apa. Tidak sekedar (merasa) sibuk! (**)

Posting Komentar

0 Komentar