Dari Buku, Berani Saja Tidak Cukup

Dari buku, tidak cukup berani
Dokumentasi pribadi

Sewaktu saya membaca buku-buku "tokoh-tokoh tegas", saya merasa harus melakukan sesuatu untuk merubah keadaan. Dengan berani, tegas, dan penuh resiko. Kalau tidak sekarang mau kapan lagi. Apalagi pemuda Islam, apa yang dapat dilakukan untuk mengharumkan nama besar Islam?

Terlebih saya pun tergabung dengan orang-orang yang tak jauh pemikirannya. Daya intelektualitas agak pragmatis dan kurang apa adanya. Termotivasi. Lama-lama melelahkan. Itu dulu saat masih proses mencari jalan nyaman. 

Semakin ke sini bacaan saya beragam. Saya termasuk orang yang tinggi penasarannya. Apa saja saya usaha kan untuk mengobati rasa penasaran itu. Serasa ada yang menggantung kalau belum dikejar. 

Belajarlah untuk melihat sesuatu dari berbagai persepsi juga persepektif. Berbeda tidak selalu mengerikan selama tahu arah rujukan. Begitulah saya memahami.

Saya ini, termasuk orang yang ambisius ingin membongkar kebiasaan di kampung saya, menurut saya terlalu dibuat-buat. Sendiri saya melawan keadaan itu. Motivasinya sederhana semoga "ada yang melihat saya" agar "nobel" bisa didapatkan. Nobel itu seperti penghagaan atas ikhtiar tersebut.

Semakin ke sini saya merasa malu sendiri. Ternyata apa yang saya lakukan tak ubahnya seperti anak kecil. Pengennya sesuatu, tak peduli keadaaan. Tabrak sana-sini. 

Terkadang sementara kita memperdebatkan atau mempersoalkan budaya yang hidup di masyarakat. Seolah itu "tidak Islami". Tidak ada di masa Nabi. Singkatnya, harus dibasmi. Bisa saja kita belum paham betul filosofi di balik itu. Buru-buru menghakimi.

Benar sebagai lelaki terutama pemuda kita harus punya langkah. Selayaknya  begitu. Akan tetapi harus juga memperhatikan etika dan adab. Bagaimana gerakannya tidak sampai memperkeruh keadaan apalagi terjadi konflik. Tugas kita mempersatukan bukan memisahkan apa yang  bersatu.

Terlalu ambisius terkesan ingin tampil ke depan dengan melawan para tetua tanpa permisi. Secara adat dan etis menabrak, padahal sesuatu ada waktunya. Ada masanya. Harus ada proses yang dilewati. Tidak ujug-ujug ke depan tanpa kompetensi ketat. 

Tadi tuh, pas acara tahlilan saya diminta untuk memimpin doa. Jujur saja deg-degan. Belum siap. Apalagi yang meminta guru saya, dengan segala hormat menolaknya.

Saya merasa belum saatnya. Saya pikir gak harus sekarang juga, ada nanti masanya. Tugas sekarang adalah belajar dan berlatih. Begitu masa muda. Dengan belajar kita kaya wawasan. Berlatih membuat kita mantap.

Dari buku saya tahu banyak hal bahkan saya mengenal banyak teman di sana. Secara sengaja ataupun tidak. Tidak semua buku itu buruk dan tidak semua buku itu baik. Tergantung kebutuhan dan sudut pandangnya gimana.

Untuk itu, semangat membaca peradaban lewat buku. 

Pandeglang,  2/5/23.  22.16

Posting Komentar

0 Komentar