Malam-malam Gadis Kecil Itu Jualan di depan Cabang BRI Pandeglang

__
Tadi malam saya ke Cabang BRI di dekat alun-alun Pandeglang untuk top up sekalian mau menjemput adik yang kerja di konter. Seketika mata saya dibuat perih melihat seorang gadis kecil sepuluh tahunan di depan pintu ruangan ATM menjajakan makanan ringan. Waktu sudah menunjukan 21.00 WIB lebih. Masih setia menawarkan pada pengunjung yang sepi. Gelap memayungi kota Santri ini.

Begitu saja jiwa terasa sesak. Ya Allah, kota kami belum sepi dari kemiskinan. Bingung mau komentar apa. Saya tidak mau menyalahkan siapapun, sebab belum tahu akar persoalannya seperti apa. 

"Baru kali ini kak, biasanya tidak," katanya dengan mata yang agak redup saat saya ajak mengobrol.

Anak kecil itu masih sekolah. Jarak ke rumahnya pun lumayan jauh. Memang barang dagangannya pun masih ada. Ingin lebih lama mendengar kisahnya, ingin mendengar keluhnya, ingin pula mengatakan saya salut melihat sekaligus sedih. Tapi itu hanya sampai di hati. Saya pun tidak berani untuk berfoto dengannya. Saya gak mau disebut peka demi konten belaka.

"Saya akan menulis," begitu lirih saya. 

Saya pamit dan ala kadar memberi padanya. Inginnya banyak apalah daya dia saja gak mau dipeluk apalagi gunung, kebesaran. Dia mengangguk dan saya tersenyum untuk sebuah luka yang entahlah.

Tiba-tiba saya ingat seseorang, katanya tadi menunggu tulisan saya. Untuk itu saya berazam sepulang ke rumah langsung menulis. Gimana tidak senang, ada yang menunggu coretan iseng saya. Serasa diminta redaktur atau penerbit beken saja. Sensasinya begitu.

Qodarullah, niat itu harus ditunda. Tanpa saya duga harus mendengarkan curhatan hati bos adik saya itu sampai pukul ÷ 12.00 malam. Kita hanya berencana yang menentukan tetap Allah begitu kata mutiara.

Saya tidak bisa apa-apa dan menjadi pendengar yang baik. Sepertinya memang sudah menunggu untuk curhat dan lucunya saat saya harus pintar membagi waktu dengan baik.

Seharusnya saya sudah tidur, sudah dini. Jam 03.00 ada jadwal. Sepulang ke rumah harus nulis belum lagi belum baca, saya merasa harus konsisten. Tapi mau gimana, ada saat di mana kita gak berdaya berhadapan dengan keadaan. Itu yang saya rasakan.

Baru pulang ke rumah jam 12-an lebih, itupun tidak langsung tidur. Tidak menulis dan hanya tiduran sambil menonton podcast Uus & isterinya bersama Om Dadi Corbuzier. Ada pula pikiran kamu di sana, sudahkah sampai ke rumah. Ah, lelah dan capek juga. Baru tadi pagi deg-degan ingin bertemu, eh ini ada peristiwa lain.

Teringat anak kecil itu, ingat masa di mana saya pun kecil. Saya pun pernah merasakan di mana harus jualan. Di mana rasa malu harus pintar disembunyikan. Meski tidak seberat dia.

Apalagi di masa pubertas, sungguh rasa malu berlipat-lipat rasanya. Bertemu dengan orang yang dikenal atau kita suka serasa Izrail di depan mata.

Bocal sekecil itu harus berjuan demi dapur tetap mengepulkan asap. Masa kecil sepatutnya akrab dengan dunia permainan, keadaan tidak memungkinkan untuk itu. Dia ingin pasti. Apa artinya ingin kalau perut keroncongan? Apa artinya senyum bersama kawan bermain-main kalau ibu-bapak harus mati-matian berusaha?

Demikian anak itu tumbuh dewasa sebelum dewasa. Nasib saya tidak senaas itu sampai pukul 21.00. Itu lah kenapa saya harus mau bersyukur dengan keadaan saya. Sesulit apa pun. Sebab ternyata ada yang lebih sulit dari saya.

Begitupun pembaca semua, saat ingin mengeluh dan merasa menderita, tengok lah pada mereka yang nasibnya kurang beruntung. Sesulitnya kamu, masih bisa jajan, tidur nyaman dan makan cukup. Tidak direpotkan oleh kebutuhan dapur mengepul. 

Harimu bebas. Harimu merdeka. Setidaknya sekarang bisa memilih antara harus senang atau sedih, sedangkan gadis kecil itu dituntut untuk bertahan. Terlepas apa motifnya pun apa sebabnya. Intinya ada di fase tidak mampu memilah mana bahagianya dan kewajibannya.

Anak kecil juga manusia. Badanya mungkin kecil tapi mimpi dan harapnya bisa saja sebesar gunung Karang. Itulah ukurannya. Semoga nanti keadaan bisa menghibur mimpimu.

Maaf, kakak hanya berani mendoakan tak mampu menjanjikan apa-apa. Kakak bukan orang yang pandai berjanji nanti-nanti hilang tanpa kabar. Kakak hanya orang suka nulis, suka baca, sedang mengejar mimpi dan sedang suka dia. Itu aja. Semoga kamu pun suka bermimpi ya, biar hari esokmu ceria. Amien. (**)

Pandeglang, 2/5/23.  13.28

Posting Komentar

0 Komentar