Menulis atau Tidak Menulis Itu Punya Resiko

Menulis dan tidak menulis
Proses kreatif ponakan ikut menulis, (Dok.pribadi)

Kalau tidak menulis karena sibuk itu soal klise. Mengaku waktu tidak seluang dulu, merasa tidak punya kebebasan lagi. Itu sih bukan sibuk, tepatnya hanya malas. Malas untuk meluangkan waktu menulis. Padahal menulis  itu butuh proses mengelola emosi dan mengintensifkan waktu.

Orang  yang sekarang menjadi penulis dan terus produktif bukanlah mereka yang punya waktu banyak untuk mereka bengong lagi santai. Apalagi ongkang-ongkang kaki sambil bersiul di depan teras tetangga. Bisa-bisa tetangganya marah, marah tidak jelas. Tidak jelas tetangga marah kadang di teras rumah. Hiks!

Mungkin ada yang sering baca tulisanku tapi sampai hari ini tidak tahu penulis siapa aku dan saya ini. Tadi ada juga yang penasaran juga dan ingin tahu, apakah penulisnya itu manusia. Dan benar, aku memang anak manusia. Orang Pandeglang berada di provinsi Banten. Anak Emak yang tidak ingin menyerah melangkahkan kaki sampai ke jannah-Nya. Insya Allah

Tidak ada soal kamu tidak ingin menulis, ya tuliskan saja tidak ingin menulis itu. Alasannya apa dan kenapa tidak mau menulis. Kalau pun ingin menulis,  ya silakan menulis. Apa yang ingin kamu menulis. Apa yang kamu suka dan rasakan. Rasakan sensasi rajin menulis, gih coba!

Sekarang saya tidak ingin menulis. Alasannya lagi malas. Tiga hari ini emosi saya tidak stabil. Saya merasa di bukit yang bukan tinggi lantas disuruh memilih antara harus membenci atau merindu, maka saya menjawab ingin merindu. Tahu-tahu rindu juga punya resiko. Ah, mana ada sesuatu tanpa resiko.

Menulis atau tidak menulis pasti punya resiko. Tidak mau menulis atau mau menulis punya kesan. Tergantung kamu melihatnya dari sudut mana. Apa sudut tetangga, sudut teman, pojok remang-remang, sudut sahabat dekat atau  potensi berbagi kebaikan. Semoga saja ada setitik pahala. Kecil tapi terus mengalir sampai akhir hayat nanti.

Kamu tidak pernah tahu tulisan yang bernilai baik itu ladang pahala. Seperti tulisanku, aku tidak pernah tahu siapa saja yang mau membacanya, merenungkannya atau mungkin menganggap sebelah mata. Bukan karena matanya sebelah, mungkin greget saja,

"Kok rajin ya nulis, punya income apa ke aku?"

Aku sih tidak masalah. Saya sih sabodo amat. Itu hak mereka. Lagian saya tidak kenal mereka dan mereka gak mau kenal aku. Aku pikir ini soal waktu saja. Bukankah Sayidina Umar itu  orang yang amat membenci Nabi bahkan sampai ingin membunuhnya. Pedang sudah terhunus!

Takdir berkata lain. Hidayah datang menyapanya berkat doa Rasulullah dan kasih sayang Allah pada sahabat mulia itu. Aku pikir tulisan saya pun bisa saja begitu. Bukan kualitasnya minimal niat baiknya, itu sih.

Mungkin ada yang sering baca tulisanku tapi sampai hari ini tidak tahu penulis siapa aku dan saya ini. Tadi ada juga yang penasaran juga dan ingin tahu, apakah penulisnya itu manusia. Dan benar, aku memang anak manusia. Orang Pandeglang berada di provinsi Banten. Anak Emak yang tidak ingin menyerah melangkahkan kaki sampai ke jannah-Nya. Insya Allah.

Ternyata, terkenal itu tidak selalu enak begitupula tidak dikenal. Mungkin lebih enak makan baso berdua di pinggir danau sambil merenungkan nikmat Allah yang mana sering saya lupakan, atau mungkin kamu lalaikan. Makanya, aku tidak ingin lalai. Kalau kamu gimana, apa mau jadi lalai, eh maaf, orang lalai? Nulis yuk! (**)

Pandeglang mendung baru hujan,   30 Mei 2023 

Posting Komentar

0 Komentar