Komitmen Punya Harga, Paham Sudah-kah?

Kabar putusnya pemilik Nas Daily / mitrapos.com

Ada yang suka melihat Nas Daily?

Terbaru yang pemiliknya itu menyatakan putus dengan pacarnya. Meski sudah enam tahun bersama. Karena merasa tidak cocok untuk berkomitmen hubungan itu kandas sebelum sampai di mahligai rumah tangga. Meskipun harus digaris bawah. Kita gak setuju dengan gayanya berhubungan tapi setidaknya obyektif melihatnya. Enam tahun harus kandas. Entah setingan atau seriusan.

Tak lama aku pun dapat ultimatum untuk mengahapus foto-foto kenangan dengan sesama manusia juga. Maksudnya, aku manusia dan dia manusia juga. Disuruh untuk menghapus kenangan yang waktu melukis semuanya. Hanya disisakan hitungan jari. Membuatku berpikir banyak. Tidak sebanyak pasir di lautan memang, sebanyak mimpi yang belum tercapai ya mungkin. Sisi lain aku harus memahami, di sisi lain saya harus heran. Hujan ada mendungnya ngumpet!

Kemungkinan itu membuatku merasa tersinggung, entah ini ego kelelakian saya atau mungkin rasa aku yang tengah terpuruk oleh serangan bertubi-tubi. Oleh apa itu? Cukup dia yang tahu. Dia yang kadang buat saya gregetan, marah, resah, cemas atau sering buat rindu yang belum berujung. Meski sering ditertawakan. Aku pun tertawa walau pura-pura. 

Hiks!

Itulah harga sebuah komitmen. Kita dituntut untuk menanggung resiko apapun. Tidak selalu manis, yang pahit kadang lebih banyak. Harga sebuah komitmen itu mahal. Siapa yang menilainya rendah, kita pastikan itu orang yang tidak bermoral. Sebab di mata orang bermoral komitmen itu bagian dari janji. Janji itu butuh harga, harganya bukan sekedar peledak, yang sekarang meledak besoknya tak ada kabar lagi. Muahal, ya!

Seperti yang pernah diungkapkan allahu yarham KH. Zainuddin MZ bahwa cinta selalu melahirkan perjuangan, keyakinan dan pengorbanan. Siapa yang ingin "punya rasa cinta" sejati di hidupnya, maka konyol kalau tak mau berjuang, yakin dan sedia berkorban. Tiga hal itu harga dasar. Dasar dari buah cinta nantinya. Beruntung siapa yang mampu menikmati prosesnya.

Saya pun berpikir tentang agama yang aku yakini dan pembaca lebih pahami. Itulah Islam meminta penganutnya untuk punya komitmen terhadap keyakinannya. Berislam tidak cukup "mengaku" harus ada bukti nyata. Masa mengaku berislam shalatnya kalau disuruh aja, kalau lagi mau aja, kalau dekat pemilu saja, dan kalau lagi banyak kebutuhan saja.

Saat kita berikrar tiada Tuhan selain Allah maka itu tekad kuat bahwa kesetian akan adanya Allah tidak bisa dinego. Tidak lagi ditawar-tawar lagi. Hanya Allah di hidup kita yang Maha Segalanya di-imani. Iman ini yang kadang membuat seorang resah, marah, cinta, cemas dan rindu tiada akhir pada Allah jalaluh!

Saat kita begitu rindu pada hamba-Nya, pada apa yang kita puja mati-matian, lantas di mana rasa malu kita pada Pemilik Semesta yang ibadah kita hanya karena "kepepet" atau lagi galau belaka. Di mana rasa malu. Malunya di mana!

Saat satu nama rajin kita sebut dan rindukan, maka seyogyanya hanya nama Allah-lah harus kita utamakan. Komitmen ini yang sejarah mencatat para pejuang Islam tidak takut akan kematian. Bukan karena mereka benar-benar tidak takut mati, tapi mereka haqqul yakin sekalipun mereka mati jelas di jalan-Nya dan pintu surga terbuka lebar bagi siapa yang ikhlas berjuang karena-Nya.

Seringkali aku merenung dan mencaci diriku, kenapa rasa rindu yang berkecamuk di dada ini lebih tertuju pada dia yang manis itu, yang entah apakah waktu mengantarkan kami pada kepastian status atau justeru berkahir dalam kesunyian. Saya sungguh takut tapi aku pula terjaga untuk menerima, apapun nanti akhirnya.

Lantas di mana benang merahnya? 

Menurutku sih, ya meletakkan komitmen itu atas dasar meraih ridha-Nya. Niat di dada untuk mensyukuri dan sebisa mungkin untuk hal yang baik di hadapan Allah. Allah yang nanti akan jadi penilai bagaimana baiknya takdir hamba-Nya. Ini hal yang tidak boleh lepas dan dilepaskan. Selepas apapun kebersamaan kita.

Seperti yang pernah diungkapkan allahu yarham KH. Zainuddin MZ bahwa cinta selalu melahirkan perjuangan, keyakinan dan pengorbanan. Siapa yang ingin "punya rasa cinta" sejati di hidupnya, maka konyol kalau tak mau berjuang, yakin dan sedia berkorban. Tiga hal itu harga dasar. Dasar dari buah cinta nantinya. Beruntung siapa yang mampu menikmati prosesnya.

Dewasa ini selingkuh seperti jadi tren, tidak hanya di dunia selebriti dan pejabat negara; di lingkungan sekitar kita betapa sikap tercela ini sisi lain dicaci tapi di sisi lain pencaci itu pelakuknya. Miris sekaligis mengherankan.

Sebagai anak Emak yang normal memang aku pernah ada di fase dalam belitan itu, alasannya karena karunya. Karunya jadi alasan sederhana laki-laki termakan untuk selingkuh. Apalagi kalau diembel-embeli perhatian lebih, wuah, klepek-klepek gitu!

Allah Maha baik, aku terselamatkan. Mungkin karena nasihat Emak, mungkin dia jauh lebih perhatian, buku-buku yang bertumpuk-tumpuk dibaca, tulisan sendiri yang niatnya nasihati orang lain, dan keyakinan di jiwa bahwa selingkuh tidak semanis gulali juga tak semanis senyum dia di hape!

Justeru aku sungguh tersinggung kalau ada banyak wanita bilang kalau laki-laki itu suka selingkuh. Lah, aku laki-laki dan aku tidak mau selingkuh. Baginda Nabi laki-laki tapi amat setia. Pastinya ada banyak sederet tokoh besar yang sepanjang hidupnya tidak pernah selingkuh. Padahal laki-laki dan punya kesempatan. Misalnya, Pak SBY. Masya Allah, salut saya!

Untuk itu, kita perlu komitmen. Tidak hanya dalam urusan receh, dalam konteks besar mutlak perlunya. Baik laki-laki maupun wanita perlu punya komitmen dalam kebaikan dan kebenaran. Baik yang sudah punya kekasih halal atau lagi jomblo atau menunggu kepastian pada Sang Waktu, berjanjilah untuk memegang komitmen itu. Kalau tidak mau, bukan urusan aku dan saya, itu hal Anda sebagai hamba. 

Sudah amat jelaskah pemirsaaaah!!!? Ha-ha-ha. []

Pandeglang,  30 Mei 2023    22.27

Posting Komentar

0 Komentar