malu melihat yang tidak puasa



by Mahyu An-Nafi 

Di pasar sering banget melihat mereka yang sengaja tidak puasa. Ada yang merokok, makan cemilan, atau sekedar minum. Yang sedikit punya rasa malu membeli dan di makan di tempat yang sunyi lagi tersembunyi. Yang cuek, makan di mana yang mereka mau.

Melihat ketidaksengajaan itu ada saja rasa kesal, marah, kasihan atau terakhir rasa malu. Malu menyaksikan hamba Allah terang-terangan sengaja tidak menuruti perintahnya tanpa ada udzur yang dibenarkan syara'. Demikian malunya saya kadang hanya menunduk dan pura-pura tidak melihat. Lurus berjalan dan dalam hati mendoakan agar Allah buka jiwanya yang tengah oleng.

Orang tertentu kadang merespon mereka yang tak puasa dengan emosi memuncak. Karena bagi mereka yang tak puasa sama saja merendahkan aturan. Bapak misalnya, pernah mengusir orang yang sengaja mau numpang minum di tokonya, padahal terlihat dia sehat dan tak ada alasan untuk tidak puasa. Bapak marah karena tidak mau tempatnya dijadikan tempat ajang dosa. Saya yang melihatnya hanya terbengong, tak menyangka bapak yang biasanya pendiam bisa tegas juga mengatakan yang haq.

Di sisi lain, seperti yang dikatakan adek saya sewaktu diskusi bahwa seharusnya mereka dikasihani. Mereka yang tercebur dikubangan dosa banyak yang tak sadar dimana dirinya berada. Mereka memang tertawa atau bahagia itu hanya kamuflase dari jiwa yang kosong dan iman yang kemarau. 

Yang seperti ini perlu dirangkul bukan ditertawakan kembali apalagi dibenci lagi dijauhi. Mereka tipe manusia ghofil, kalau kata Imam Gazali perlu dilatih agar singa di hatinya kembali terang. Meski tidak mudah karena efek dan resikonya juga berat. Hanya mereka yang sabar dan dekat dengan-Nya mampu memberi cahaya.

Namun bagi saya, justru rasa malu yang terkikis di jiwanya itu yang cenderung membuat manusia "merasa besar" hingga cuek-bebek melanggar aturan syara' yang telah tercatat. Malu itu sederhana tapi dari sana banyak hal bisa istimewa. Bahkan dari yang buku yang saya baca ada kata-kata begini: "kalau seseorang punya iman sekecil apapun maka malu akan menguasai dirinya."

Jangankan terang-terangan melakukan dosa, tidak melakukan ketaatan tidak sempurna saja dia akan merasa malu karena tidak totalitas ibadah padanya. Meninggalkan shalat taraweh ia akan merasa menyesal sekalipun dia dibenarkan meninggalkannya. Misalnya ada hal tertentu yang urgent harus dilakukan. Dia malu pada Pemilik alam semesta yang terus mengucurkan nikmat tapi dirinya terus mencari pembenaran akan hal yang ditinggalkan.

Itulah mengapa nabi mengatakan dalam sabdanya bahwa malu bagian dari iman. Kenapa? Karena iman tanpa malu bagai sesuatu tanpa baju. Iman tanpa malu sering buat orang "merasa setara" dengan-Nya hingga dalam ibadahpun tak memperhatikan etika dan akhlak. Jangankan kepada manusia kepada Pencipta-Nya saja dia tak berakhlak. Begitu kata Aa' Gym.

Pada wujudnya ibadah tak memilki esensi. Hidup pun kurang barakah. Diri merasa sudah taat dan aslinya semua hanya fatamorgana. Rasanya penting kita merenungkan hakikat kehambaan kita: untuk apa dan hendak dibawa kemana?

Ada banyak penelitian dari pakar psikologi bahwa kecenderungan dinamika manusia modern mengarah pada depresi dan mudah depresi. Sayangnya, Mereka depresi tapi tak menyadari. Bahkan John Hopkins Medical Center mengatakan 32 dari orang penderita penyakit 28 darinya sakit karena kejiwaan (depresi). Itu yang memicu parahnya sebuah penyakit. 

Konteks dari penjelasan di atas, bisa jadi ibadah yang sering dilalaikan bisa berefek pada kejiwaan seseorang. Apalagi budaya hedons mulai merambah pelosok desa, saat uang telah meraja dan ibadah dianggap angin lalu saja. Waspada, bisa jadi tak lama lagi dunia hanya akan jadi cerita belaka. Wallahu 'alam. []

Pandeglang,  8/5/21   08:15

Posting Komentar

0 Komentar