Tangis Guru Ngaji

Salim adalah salah satu alumni pondok di sekitar desanya, setelah merasa cukup ia izin untuk keluar kepada gurunya untuk mengamalkan ilmunya. Gurunya pun memberi izin dan doa, semoga ilmunya bermanfaat. 

Setelah kembali ke kampung, karena tahu ia lulusan pondok maka tak sedikit warga sekitar yang menitipkan anaknya-- ada juga yang tidak menitikan dan tak peduli anaknya ngaji di mana-- untuk diajari ilmu agama. Salim menerima dengan lapang dada dan bersyukur punya ladang amal. 

Tiap hari Salim mengajari anak-anak ilmu syariat dari hal kecil sampai yang tinggi. Dari kitab kecil sampai yang besar. Selama berjalannya waktu, untuk memenuhi kebutuhannya ia kerja serabutan. Alhamdulillah ada saja dan kebutuhannya tercukupi.

Sampailah pada masa ia ingin merajut rumah tangga. Sudah menemukan pula belahan hati yang pas di hatinya pun orangtuanya merestui. Akad itupun dilaksanakan dengan walimah yang sederhana. 

Karena namanya cukup harum di desanya yang hadirnya pun ramai. Dijalanilah biduk rumah tangga itu dengan bunga cinta yang dipelihara. Istrinya diboyong ke rumahnya. Pasca menikah, anak-anak yang dititipkan padanya pun semakin banyak. Salim bahagia pun istrinya. Keluarga besarnya juga demikian. Puncaknya, dari kebersamaan itu lahir buah hatinya-- yang sambut tahniah keluarga besarnya.

Bukan hidup kalau tak ada ujian. Biduk rumah tangga yang baru seumur jagung itu terkena badai. Salim yang fokus dan habis separuh waktunya untuk mengajar, tak mampu menutupi kebutuhan sehari-harinya. Kerja serabutan hanya cukup untuk membeli beras, sedangkan kini ada ragam kebutuhan setelah menikah.

Sesekali ia bisa berutang pada sanak-keluarganya, lama-kelamaan ia malu juga. Apalagi sempat ada ucapan tak enak yang didengarnya karena keseringan berutang. Salim pun bingung dan cemas, apa yang harus dilakukannya.

Simalakama. Ingin fokus kerja agar mencukupi kebutuhan dapurnya, pasti anak didiknya terbengkalai. Ingin fokus mendidik yang dititipkan padanya, bagaimana nasib perut anak-isterinya yang harus dipenuhi. Istrinya terlihat pucat dan badannya menyusut tajam. Anaknya pun terlihat kurang bergizi. Salim ingin menangis, tapi layakkah itu dilakukan pemegang amanah ilmu Allah? Hanya gara-gara perut, tak bisakah ia melihat jejak pendahulunya, tak hanya harta, jiwa, bahkan nyawa pun jadi taruhannya. Sambil merunduk menahan sesak, yang dilakukan hanya pada-Nya siang malam bermunajat. Pasrah pada takdir-Nya.

***

Salam selepas keluar dari pondok juga mengajar. Warga sekitar menitip anaknya dan berbondong mengkaji padanya. Harinya banyak dihabiskan mengajar. Salam bahagia dan keluarganya pun sama. Sebuah berkah untuk kampungnya.

Untuk kebutuhan sehari-harinya ada ala kadar dari wali anak didiknya dan selebihnya kerja serabutan. Sampai cukup masanya, dia pun menikah. Memiliki anak dan kian bertambah anak didiknya.

Sama seperti Salim, Salam pun kesulitan ekonomi. Kebutuhan harinya dicukupi dengan utang. Lama-lama malu juga apalagi sindiran keras dari sanak keluarganya menambah tamparan di jiwanya. Hal yang mengiris hatinya adalah, saat anak didiknya yang masih kecil membawa jajanan dan itu di lihat oleh anaknya. Anaknya pu  menangis histeris. Tak hanya sesekali tapi sering. Jengkel juga dibuatnya. Anak didiknya bukannya paham, memberi kek sedikit atau jangan makan di depan anaknya, tak tahu apa lagi kanker rupiah di sakunya... tapi anak itu masih kecil sama dengan anaknya, mana paham?

Dia pun emosi. Dengan mata tajam dan amarah, di sepaknya rekal kayu di depannya.

"Bangsat! Tenang dek, besok kamu bisa jajan. Mulai sekarang, anak sekalian kalian pulang. Pak Ustadz mau kerja ke Jakarta."

Anak yang ketakutan pada lari pontang-panting. Salim hanya merunduk, di sisi lainnya isteri tercintanya  memandang dengan tatapan iba. 

Besoknya benar saja. Kontan dia berangkat ke Jakarta. Jiwanya terluka. Apalagi mendengar tangis anaknya ingin jajan, ibunya tak bisa merayunya. Beras pun sulit dibelinya. Dia lelah dalam kemiskinan. Mengajar itu mulia, tapi menafkahi anak istrinya juga bukankah mulia? Itu wajib. Berat memang meninggalkan anak didiknya, tapi ya sudah ada Ustadz lain kok. Dengan berat hati, ia tinggalkan kamu halamanya. Mungkin ini takdir-Nya. Dengan dada sesak, ia melangkah ke kota. 

***

Lima belas tahun kemudian....

"Ini berapa harganya Pak?" Tanya seorang lelaki berkopeah.

"Rp. 50.000 -, pasnya itu." 

"Gak bisa kurang lagi Pak?"

"Harga pas itu. Barang inpor soalnya."

"Bungkus deh Pak."

Saat pembeli itu ingin menyerahkan uang kepada penjual itu, betapa terkejutnyanya... 

"KAMUUU!!!"

Dua orang itupun berpelukan sambil tersenyum.

"Masya Allah, ane gak tahu kalau ente Salam."

"Sama Lim, saya juga gak tahu dan gak ngeh juga. Masya Allah, sorban kamu bagus banget." Puji Salam tulus.

"Hehe.. dapat ngasih Lam. Jadi gak enak kalau gak dipakai. Toko siapa ini Lam, gede banget."

"Oh, toko saya alhamdulilah."

"Oh, ya, ya alhamdulillah. Terus gimana dengan anak didikmu?"

"Hmp..  sudah gak ada. Saya fokus di dunia usaha sekarang. Turut senang kamu sekarang jadi kiai besar di kota ini. Saya dengar dari kawan-kawan, pondok-mu makin banyak."

"Ah, itukan amanah Lam. Allah tengah menguji ane dengan itu. Lagian ini takdir yang saya harus jalani. Seperti ente ini! Berdagang juga kan ibadah, bukan begitu?"

"Ah, kamu dari dulu gak berubah tetap ramah."

Seorang santri tergopoh masuk, ia mengucapkan salam. Lalu mencium tangan dua sahabat yang tengah reuni dadakan tersebut.

"Punten Pak Kiai. Di rumah ada tamu dari luar kota, katanya tengah menunggu." 

Salim yang disebut kiai tersenyum sambil mengagguk. Santri itu paham, maka undur diri. Salam juga paham dan menyerahkan barang yang dibeli. 

"Sudah bawa aja. Kayak sama siapa saja. Teman satu pondok kita, heh!" Tolak Salam saat Salim menyerahkan uang. Sekalipun dipaksa tetap Salam menolak.

"Eh, ente mah. Nuhun iye. Ameng geh ka rompok, ngopi urang kek. Di antos nya. Hapunten, pamit iye," kata Salim dengan logat Sunda halus. Setelah mengucap salam, langsung melangkah. 

Salam hanya merenung pasca pergi sahabatnya. Dalam hati dia menggerut, 'andai dulu saya sabar, mungkin lain ceritanya.'
Sebab sampai saat ini ia sering rindu mengajar dan teringat di masa fokus mengajar. Ada sesak lagi terasa di dadanya. Namun toh, semua telah terjadi. Dia jadi cemburu dengan sahabatnya. Mau gimana lagi. Apapun kalau sabar maka apa yang diharap mudah digapai. Hanya tasbih dilisankannya. Sekian. Wallahu 'alam. []

Pandeglang,  13/6/21     13:00

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar