AKU dan Milenial



Bangun kesingan dengan mata yang masih merah. Sorot fajar memaksa untuk keluar dari buaian mimpi. Di luar kamar terdengar omelan mamah, jam tak henti berdentang dan aku... masih ingin  dipeluk alam fiksi.

Tiap siang badan sering meriang, senyum dipaksa untuk pastikan aku ceria. Meski kepala terasa ingin pecah, pusing menjelma belati tajam menusuk isi kepala. Ingin rehat dari kesibukan, tetap tak bisa, masa muda harus dijalani tak peduli apa yang dirasa.

Datang ke rumah, Mamah menanti dengan rentetan kata, pacar tak segitunya  juga. Entahlah, tak ada lelah dirinya jaga dan nasihati aku yang tak lagi nangis minta uang saku. Sekalian tahu ada pacar, Mamah marah-marah, katanya aku masih ingusan. Jadilah selama ini, aku menyendiri menyelami tanpa dia. Ah, Mamah!

Karena sendiri, malam dihabiskan dengan aneka mainan on-line. Terbang di angkasa tawa, sesekali hanyut dalam ketidakpastian. Masa entah untuk apa. Aku hanya ingin happy menelusuri jejak masa tunas. Tak peduli siap dan untuk apa. Sampai larut kuhabiskan malam. Bercengkrama dengan gadget di tangan. Subuh sirna, mata merah, tetap jadi budaya.

Kata orang aku milenial. Sukar memahami jalinan cinta Mamah. Mudah buat onar belaka. Hanya jadi bahan tertawaan dunia. Lupa pada nasib bangsa, lupa jua untuk apa Tuhan mencipta. Ah, itu kata mereka. Mereka yang belum menyelami dunia kami. Seumpama hewan gembala, kami akan jinak dengan rangkulan dan bukan sekedar kemarahan pun ejekan semata.

Kami manusia, kami pun ingin cinta. Dipahami bukan sekedar basa-basi. Kami punya cinta dan tetap menggelora di kedalaman jiwa.

Jangan tanya apalagi rendahkan kami seolah kami penjahat penggerogot harta bangsa. Atau sangka kami mafia-mafia yang rusak ruang sosial. Atau tuduh kami pelaku anarki atas provokasi elit-elit berdasi juga mereka yang katanya ilmuan sejati. Jangan bandingkan kami dengan mereka, kami hanya insan yang tengah mencari jati dari diri yang rentah tertiup Sang bayu. 

Ah, adakah yang memahami dunia kami?!

Lagi-lagi kami harus kecewa. Menatap semua bak sandiwara. Tak ada yang mau menjamah dunia pasti kami. Mungkin, hanya Mamah yang memahami. Walau omelan hiasi hari, tak apa, itu ketulusan hati nan berseri. Wallahu 'alam. []

Pandeglang,   18/6/21

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar