ISU POLITIK DALAM DENDAM : BENARKAH ITU?

Tulisan ini hanya asumsi iseng saja. Tak usah dibawa serius. Karena serius sering buat kepala mumet dan pikiran panas tak karuan. Sekali-kali bawalah enjoy, agar setiap masalah bisa diselesaikan dengan kepala lebih dingin. Sedingin tatapan orang dendam!

Politik dan praktek Dendam

Ngomongin politik memang tak lepas dari yang namanya dendam. Politik telah menjadi hal yang keras dalam bentuknya dan lunak dalam istilahnya. Banyak sekali peristiwa politik melahirkan konflik, baik tajam maupun kelas yang biasa. Sekaligus pada wujudnya, praktek dendam di awali dari konflik di ranah politik. Tak jarang, ini diwariskan pada penerus selanjutnya. 

Ambil contoh kasus Trah Pak Karno dan Pak Harto sampai saat ini belum kita temukan momen untuk satu koalisi. Di mana beban masa lalu dipoles untuk dipugar agar berwarna di masa yang akan datang. Nyatanya setiap kontestasi politik dua partai yang menaungi dua Trah ini belum jua rujuk. Entah kalau sudah duduk sambil makan rujak, mungkin ya akan islah demi kemaslahatan bangsa. 

Bukan hukum pasti, setiap terjun di dunia politik harus selalu mendendam. Kita bisa melihat pada kasus dibubarkannya Partai Masyumi dan kriminalisasi pada tokoh sentralnya, lalu lihat  pada sikap tokohnya pada Pak Karno?

Saat Pak Karno wafat, tengoklah siapa yang mengimami shalat Pak Karno? Buya Hamka. Anda tahu siapa Buya Hamka dan bagaimana konflik panas dengan Pak Karno. Seperti yang kita tahu, Hamka dalam sikapnya tidak "menampakkan dendam" dan memilih berdamai. Tentu masih banyak lagi. Ini bukti dan pembenaran bahwa tak selamanya dendam itu ada di kancah politik.

Problem Akut dan Rasa Takut

Kalaulah sudah jelas bahwa politik bisa melahirkan dendam akut, di lain sisi politik juga memberi asa akan aksi nyata. Perdamaian akan tercipta lebih mudah dengan gerakan politik daripada gerakan militer. Karena militer lebih berbau kekerasan dan darah, beda dengan politik yang lebih mengarah pada kesepakan bersama. Ada deal solution di sana. 

Akan tetapi dalam sejarahnya, problem akut itu ada pada pribadi individu, bukan pada jenis politiknya. Syawat berkuasa dengan daya ingin leluasa duduk di kancah kursi jabatan. Mengarah pada monarki dan KKN. Tak ingin dikontrol. 

Rasa takut "pensiun" dari jabatan menjadi alasan pembenaran langkah taktis dan absurd. Tak peduli efek dari sikapnya itu. Di mulut memang manis, dalam kenyataannya kita dibodohi oleh by design untuk diri juga kelompoknya. Sejahtera pun hanya manis untuk dikatakan, miskin dalam kenyataan. 

Kesimpulan

Dari pemaparan singkat di atas kita menangkap pesan itu. 

1). Harus ada aksi nyata akan janji politik. Ibarat buih, janji hanya akan jadi ampas tanpa ada aksi.

2). Pentingnya menerapkan menejemen penerapan janji. Mana yang mudah diterapkan, mana yang esensial, dan mana yang jangka panjang harus dilakukan agar ada rasa di benak masyarakat.

3). Perlu keseriusan dan pelatihan leadership kawula muda agar tahu tupoksi perjuangan. Kalau merasa tidak mampu misalnya, memilih mundur agar diserahkan pada yang lebih paham mengurus amanah. Tidak memaksakan kehendak demi ambisi belaka.

Tiga hal itu niscaya mudah mendorong revitalisasi pembangunan. Tak hanya klaim, tapi ada bukti. Tentu saja pendidikan dan kesehatan dua hal paling urgen. Tetap saja, semua kembali pada individu sendiri. Akan tetap bangga dengan angkah palsu apa memikirkan  aksi jujur nyata. Wallahu 'alam. []

Mahyu An-Nafi |  21/7/21


Posting Komentar

0 Komentar