Pentingnya Merekontruksi Sikap Menjelang Lebaran

Hanya di Indonesia pasar dan pusat perbelanjaan ramai menjelang lebaran. Tak hanya itu, budaya membeli baju baru, mudik telah mendarah daging di sudut jiwa. Kemeriahaan tersebut tak hanya dirasakan oleh kaum muslim, bahkan mereka yang bukan muslim pun turut merasakan eforia nikmat hari raya. Ini bisa kita lihat dan dengar dari respon mereka. 

"Iya sih ramai, tapi Masjid atau Majlis ta'lim tetap saja sepi. Tak seramai aktivitas di pusat perbelanjaan," keluh sekaligus kritik seorang teman.

Memang ada benarnya. Andai saja gerakan positif menjelang lebaran di bawa pada ranah positif Islam mungkin akan memberi arti berbeda. Ada esensi nyata. Tak sekedar keramaian seremonial untuk kemudian dalam kualitas keimanan individu biasa saja. Tak ada harkat yang dibawa.

Misalnya, menjelang lebaran siapapun bisa mengalokasikan dana untuk membeli baju, pakaian, atau bahan makanan. Terkadang dengan jumlah yang fantastis, karena sengaja ditunggu momennya. Kita bisa hitung besaran jumlahnya berapa andai kalau serius di-manage uang tersebut untuk kemaslahatan yang tepat sasaran. Pasti besar sekali. 

Ada loh orang yang sedari dini sudah panik dengan hadirnya lebaran ini. Panik bukan karena menyambut ibadahnya, panik mikirin dana yang bakal dihabiskan. Lucu memang, tapi yang beginian kan banyak. Ada yang rela "menabung" demi hari H, karena pasti akan banyak hal dilakukan. Walau esensi sejujurnya tak tahu. Hanya rutinitas tahunan saja.

Bukan berarti saya anti dengan kebiasaan yang ada, ada adat yang sudah tumbuh di sekitar kita. Bukan. Hanya saja, kalau bisa, setiap tahun kita coba memahami momen itu tak cukup "ikutan", kita punya hal yang ingin dicari, tak sekedar menghilangkan jenuh dari aktivitas harian. Ada makna yang agama restui, ada makna dalam lingkup sosial bisa dibenahi, dan tentu memiliki hakikat nilai lebih dalam pergaulan masyarakat. 

Kita-kan berharap, setiap tahun bisa berkurban. Bisa berbagi dengan sesama. Bisa jadi ini terlaksana dengan pendapatan biasa karena di manage dengan baik. Jadi, berkurban itu tak hanya milik mereka yang kaya, ke depan menjadi rutinitas kelas ekonomi rendah sekalipun. Alasannya sederhana, karena setiap orang antusias untuk menyisipkan uang hariannya untuk berkurban. Seperti antusias membeli baju, daging, kue, dan asesoris menjelang lebaran tiba. Wallahu 'alam. (*)

Pandeglang,  19/7/21

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar