Kopi dan Nasib Mengantarkan Saya

 Pasca produksi di rumah
--

Saya lahir dari keluarga pedagang. Ibu saya anak dari pedagang golok dan bapak  pedagang kopi Jempol di pasar. Bisa dikatakan secara genetika ada darah yang pesat mengalir di tubuh saya, dan inilah alasan kenapa ibu memaksa saya untuk terjun di dunia usaha serta tenggelam di sana.

Apa saya ikhlas menerimanya?

Tadinya tidak. Sama seperti kebanyakan yang lain, saya tak mau meneruskan dunia yang telah membesarkan kami. Saya ingin ke kota dan hijrah. Kebetulan ada tawaran juga. Study sambil berkarir.

Tapi ibu punya pertimbangan lain dan terpaksa saya harus manut. Bagi saya ridha ibu segalanya dan tak ada alasan untuk inkar akan kehendaknya....

Ya, sudah.

Di pasar Pandeglang saya mulai merintih asa. Memasuki fase yang berat. Menjual produk berjenis kopi yang namanya sudah terkotori polusi. Kualitasnya pun KW. Caci dan hina jadi kebiasaan terdengar. Hati dan pikiran terbakar karenanya, apa itu rezeki?

Masa yang tak mudah itu, tak berhenti di situ. Kakak saya diuji mentalnya untuk waktu yang cukup lama, dan itu menguras pembendaharaan yang ada. Suara miring sanak keluarga ikut meramaikan kegaduhan itu.

Saya amat tahu dan hafal siapa saja yang berbicara itu. Hampir saja mahligai rumah tangga yang melingkupi rumah kami roboh diterjang badai ujian.

Sungguh kami tak berdaya, pada-Nya kami terus meminta. Memapah asa terus memacu langkah. Membangun optimis. Manata jiwa. Dan ingin menyerah dan yakin akan takdir-Nya. Tak ada langkah yang sia-sia, gagal terus bangkit lagi.

Hari ini, menjadi momentum kebangkitan itu. Dengan kembali mengolah dan mempopulerkan produk lokal warga Pandeglang, saya percaya bau keberhasilan itu hanya menungggu waktu. Apa kami akan pasrah apa menyerah.

Sebelumnya saya mengajak dari keluarga besar bapak untuk mengelola kopi mentah. Itu disampaikan diperkumpulan  keluarga. Saya sampaikan tren terkini dunia perkopian dan bagaimana minat warga pada kopi olahan mandiri. Apa saja harapan dan bagimana keuntungannya, sayangnya omongan saya hanya jadi angin lalu.

Apa saya kecewa dan marah?

Tidak sama sekali. Justru saya termotivasi dan terlecut ingin meng-elaborasi asa itu. Saya harus bisa mengolah sendiri. Langkah awalnya membeli di toko hasil bumi yang menjadi penampungan petani di desa-desa.

Alhamdulilah berhasil. 

Fase selanjutnya ialah menambah dan meningkatkan produksi di rumah. Ini akan menjadi kesibukan menarik juga perlu langkah taktis. Yang pasti menghasilkan dan memiliki jelas. Hari ini memang kecil, esok bisa jadi akan lain ceritanya.

Ada mimpi lain yang cukup ambisius. Ini telah saya sampaikan pada keluarga di rumah-- entah mereka paham atau tidak--- untuk bisa menanam kopi sendiri di kebun keluarga. Bisa juga menjadi pemasok kopi di Pandeglang.

Para petani di wilayah sekitar tak harus bingung menjual kopi ke mana, karena kami di rumah siap menampung kopi yang ada. Harga tergantung kualitas. Semakin bagus kualitas kopi semakin mahal akan dibeli.

Sekarangkan menanam kopi jadi tidak lazim dilakukan warga, mereka memilih menanam cengkeh, coklat, pisang, dan tanaman lain. 
Tahu kenapa? Karena daya jual barang tersebut relatif cepat juga menjanjikan.

Para petani jangan disalahkan. Cukup beri contoh agar mereka sadar dan tahu bahwa menanam kopi juga menjanjikan. Siapa yang berkepentingan harus cerdas menangkap sinyal ini.

Beberapa kali saya mencari mitra, utamanya dari birokrat terkait untuk menindaklanjuti impian saya bagaimana kopi lokal supaya bisa dilirik dunia. Sayangnya belum jua ketemu. Sekalinya ada terdengar terikat dan kurang menarik. Bagimana milenial mau berkecumpung jadi entreupenur kalau aturannya terlalu formalistik?

Hal inilah yang tengah saya pikirkam dan terus lakukan. Upaya untuk merubah tak hanya nasib keluarga saya, tetap juga nasib petani dan orang-orang yang punya mimpi seperti saya. 

Tak mudah memang, selalu ada alar melintang. Sekarang pun saya belum mendapatkan apa-apa. Tapi saya selalu ingat pepatah bilang bermimpilah setinggi langit maka saat kamu gagal sekalipun minimal kamu bisa melihat luasnya dunia. Karena tak ada ruginya bermimpi itu.

Gagal dan sukses hanya soal waktu. Yang terpenting itu prosesnya. Proses menuju banguanan itu paling penting. Karena, hanya orang yang pernah berenang di lautan yang tahu dalam dan rasanya lautan. Mereka tahu keindahan dan mozaiknya. 

Ada gambaran didapat. Tak ada yang sia-sia punya cita dan berusaha mengaplisikan. Gagal biasa. Macam Thomas Alfa Edison misalnya, yang gagal lebih dari 1000×, tetap optimis. Atau Abbas Farnasi yang terbang di udara Cordoba sebelum pesawat ada, pada akhrinya itu cikal bakal replika pesawat. Untuk itu, tubuhnya terluka dan gagal sering menyapa.

Hari ini sejarah mencatat lain pada mereka. Begitupula atas cita-cita saya. Terus optimis dan melangkah saja. Atau cita-cita sekalian pembaca yang kenan hadir.

Seperti yang dikatakan Ulama besar Abu Fadhil, "Sesungguhnya kemarin adalah pelajaran, hari ini bekerja, dan besok itu cita-cita."

Nah, kita mau ada di posis mana? Semoga saja inilah awal nasib mengantarkan saya pada garis takdir yang penuh ridha juga barakah di hadapan-Nya. Aamien. []

Pandeglang |  25 Agustus 2021

Mahyu An-Nafi


Posting Komentar

0 Komentar