Salam di Hari Jum'at

Pagi di bulan Agustus. Cerah dengan sedikit mendung mengiasi wajah langit. Seolah ada duka tak kentara di sana; mungkin ada kekasih yang tengah melepas rindu. Tak mampu menahan. Tak lagi kuat menjaga gejolak itu.

Jum'at yang penuh ide ini, saya tetap di sini memuja-Mu dalam untaian kata.

O, apa arti semua kata tanpa cinta.

Oh, apa arti rindu tanpa tulus.

Duh, di mana tulus berbingkai status tanpa makna.

Di mana, akan mana, jasad yang nanti terbujur kaku menangisi sangu yang tak lagi indah

Oh, malaikat penjaga surga, adakah kau ingat aku di sana?

O, penjaga neraka yang terus menyala apinya, tercatatkah namaku di sana?

Amboy, adakah di kubur jiwa rapuh ini ditemani bidadari bermata jernih?

Segelas kopi pun saya tandaskan. Saya ingin berlari mengejar mimpi lagi...

Di sini, dan tetap di sini mencoret dunia dengan ponsel Samsung menemani. Tipe J1 Ace. Setia menemani empat tahun ini. Punya cerita dengan makna: cinta, cita, dan rupa. 

Pada dunia saya tertawa.

Pada kenyataan saya merenung:

Akan kemana nasib manusia mengantarkan.

Duhai kamu yang membaca, apa yang akan kita bawa di kampung abadi itu? 

Dunia penuh warna, warna melalaikan kita pada pesan suci Kalam-Nya. Kita selalu punya alibi membenarkan kita akan sesal dan lalai yang sering kita lakukan.

Di sana...

Mulut kita terbungkam. Mata, tangan dan bisa jadi seluruh yang "biasanya diam" pasti bersaksi karena menyaksikan laku di alam dunia yang penuh noda lagi drama. 

Bisakah kamu tertawa, di sana mereka menjerit karena lapar-- busung lapar merajalela. Bisakah kamu tersenyum, di sana mereka penuh teror juga intimidasi. Bisakah kita lupa padahal di sana luka mereka menganga.

Di mana wajah penuh cinta?

Di Masjid-kah?

Gereja kah?

Di Sinagogkah?

Atau di jalan-jalan yang penuh lubang hingga rakyat jelata mati karenanya.

Kita ingin salahkah siapa? 

Oh, bumi terasa gersang. 

Bukan, bukan, bukan yang gersang. Hati dan jiwa kita yang mungkin gersang. Ego dan nafsu terus membara. Bukan karena cinta, cinta selamanya meneduhkan. Angkara jadi laku tiap sikap kita. Hamba yang dipertuankan Iblis di mana-mana.

Kalau bumi gersang, kenapa jiwa Bilal bin Rabbah tetap sejuk dipanggang di tengah terik mentari dan batu besar menindihnya. Hanya satu katanya: Ahad, ahad, ahad...
Itu ucapnya. Manifetasi "kull huawaalu ahad".

Kalau gersang, kenapa jiwa suci Asiah tetap sejuk ditekan rezim Fir'aun yang Menuhankan Diri, merasa paling digdaya. Asiyah yang mulia menuhankan Allah saja, karenaya diikat, dicambuk, dicampakkan, dipanggang sorot mentari nan membakar.. jiwanya lemah, imannya terus bertambah. Sampai langit memberinya minum dari telaga cinta. Hilanglah dahaga dan takut pada makar hamba yang "merasa digdaya" itu.

O, sanubari yang ingin harta dunia dan isinya. Hanyut pada fatamorgana. Lelap pada godaannya. Memilih besar karena rasa egonya. Sadarilah, saat kau cemas, Allah ingin kamu meminta dan terus munajat pada-Nya, kenapa kamu lari untuk rekreasi tanpa ada makna dan esensi untuk iman di hati.

Di sini surga, di sana api neraka...

... tuhankan tawarkan: jalan mana yang kamu piliih. (*)

Pandeglang |  13 Agustus 2021

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar