Saya Bukan Aktivis di Lapangan

Ada yang mencemooh saya karena terlalu banyak bermimpi dan tak bisa mereflesikan mimpi itu. Terlalu banyak berkata. Tanpa ada geraka belaka. Nyaman duduk menjadi "Singa" di media dan menjadi "kerupuk" di alam nyata.

Adik saya misalnya dia aktivis lapangan. Melejitkan namanya di ormas Banten. Tak hanya berbicara, dia punya sikap dan langkah. 

Nah, saya bagaimana?

Saya pikir, mereka berhak menilai saya dan mengatakan apa saja tentang saya; macam saya mengatakan diri mereka. Mungkin mereka tak nyaman dengan dunia saya seperti saya tak nyaman dengan dunia mereka. 

Sampai di sini, tak ada yang salah dan perlu disalahkan. Bangunan yang indah justru karena berbeda. Pelangi menarik karena tak sana. Bayangkan kalau warna pelangi sama, di mana letak esetetikanya?

Dunia saya macam ini, banyak diam sambil merenung. Menuliskan apa yang bergejolak di jiwa dan mengalir di pikiran. Saya tak punya materi lebih, tapi orangtua saya merestui apa adanya. Saya nyaman dan tenang. Alhamdulilah memiki apa yang belum orang lain miliki. 

Apa yang orang lain cemaskan tak saya rasakan sama sekali. Aneh sekali kalau saya harus ikuti. Itulah kita, kadang merasa tahu lebih dunia juga kejiwaan orang, pada nyatanya tak tahu sama sekali. Untuk apa mencemaskan orang lain kalau dirinya jua masih cemas? Paradoks sekali.

Entah bagaimana kalau saya jadi aktivis lapangan, apa saya akan tetap menulis sehari tiga atau lima di akun ini? Wallahu 'alam. (*)

Pandeglang ||  12 Agustus 2021

Mahyu An-Nafi


Posting Komentar

0 Komentar