Kalau Kita Menertawakan Yang Menertawakan Kita

Aku tidak tahu apakah dosa menertawakan kita dan keadaan kita. Mereka menertawakan kita di satu keadaan seakan apa yang kita alami, baik hal-hal menjemukan lagi menyakitkan itu menarik bagi mereka. Lucu dan layak jadi bahan tertawaan.

Lalu saat bumi berputar dan dia merasakan apa yang kita rasa, apakah pantas kita menertawakan balik?

Pertama, bagi mereka yang punya ketahanan diri baik disertai keilmuan yang cukup diserang dari berbagai penjuru oleh manusia tak ada masalah. Bak karang mereka tetap tegar, utuh, dan terjaga. Di benak mereka itu hanya ampas yang bakal pergi. Menyapa pun untuk singgah sejenak.

Kedua, menjadi problem bagi kita yang belum punya karakter kuat. Kualitas keilmuan jua tak ideal. Ya, seperti kita low emosinya. Dikit marah, dikit tersinggung, dikit geger; sikap tak tentu arah itulah biangnya.

Kita tak menyadari karena kita berhenti untuk menguak tabir diri sendiri. Kemarahan dan ego jadi pelampiasaan kekerdilan jiwa kita. Di sini kita kuat padahal aslinya rapuh. Mudah terprovokasi syahwat juga bisikan setan.

Untuk itulah, menertawakan balik atas mereka bisa saja dibenarkan oleh sebagian kita wujud pembelaan diri. Proses pembenaran egoistis jiwa.

Sudah sepantasnya kita move on dari klausul pematahan jiwa. Fase absurituas menempa pada kerapuhan jiwa. Perbaiki agar menuju kualitas prima jiwa yang baik. 

Akan halnya bumi, semua akan berputar pada prosesnya. Gunakanlah momen itu meningkatkan derajat diri yang lemah. Bukan memukul balik apa yang terlampir di kehidupan kita. Percaya dan yakin, itu tak akan memiliki esensi apa-apa untuk hidup kita. Wallahu 'alam. []

Pandeglang |  19 September 2021

Posting Komentar

0 Komentar