Ibu, Jangan Selingkuh!

Namaku Jantri, aku ingin curhat di sini. Terkait lebur juga rusaknya hubungan ibu dan bapakku. Pengadilan jadi pilihan dan perceraian jadi akhir ceritanya. Kami anaknya hanya jadi pajangan di kehidupan mereka. Sedih sekaligus menyakitkan.

Semua di mulai dari hape sialan itu. Android. Ibupun mulai membiasakan dengan gadget. Mulia kecanduan tiktok, rajin selfie, dan bersolek ria. Semua diberi kemudahan. Tinggal klik, apa yang kamu inginkan mudah di dapat.

Lama-lama tergabung di grup medsos, mengarah pada grup WA. Diadakanlah kesepakatan untuk kopdar. Kopi darat begitu istilah milenial. Bertemu di suatu tempat dan rutin mengadakan aktivitas. Itu awal bencana yang meruntuhkan masa depan kami.

Ibupun mulai sibuk. Jarang masak. Jarang punya waktu dengan kami. Potret penuh cinta pun jarang kami dengar. Ibu telah jadi orang lain bagi kami. Sering ribut dengan bapak, dan rumah seolah jadi kapal kebakaran. Berisik lagi menjemukkan.

"Apa kamu tak bisa seperti yang dulu lagi, kembali menjadi orang yang nyaman dan penuh cinta." Kata ayah kembali berdebat dengan ibu.

"Apa sih kamu, apa selama ini aku kurang menampilkan cinta? Harusnya kamu bersyukur menikahi aku, aku tak seperti istri Pak Broto meminta apa-apa tanpa kebutuhan. Bukan malah menyalahkan aku!"

"Kok kamu ngomongnya gitu," oktaf pembicaraan mulai meninggi.

"Iya, aku bosan di rumah terus. Tiap tiap hari ngurusin anak dan tetek-bengeknya. Apa kamu pikir aku babu?"

Dan, seperti biasa pertempuran di rumah makin menarik bagi pemburu gosip. Kami hanya jadi penonton. Ada banyak kejengkelan. Sungguh, mati terasa indah bagi kami. Apa tak ada setitik peduli pada kami anaknya. Dua adikku masih kecil. Belum tahu apa-apa sudah disuguhi tontoan dewasa.

Ibu makin centil. Dadan pun makin menjadi. Tiap sore ikut senam bareng dengan jamaah ibu-ibu muda. Pakaiannya ketat, menonjol, dan merangsang siapa yang lemah imannya.

"Ibu, masya Allah itu pakaiannya, tak bisakah diperbaiki," kataku protes.

"Iya bu, dosa itu," sambung adikku.

"Iya, tabarruj bu."

Dengan wajah menakutkan dan nada tinggi, "berisik kalian. Tak mau lihat Ibumu senang. Tahu apa kalian tentang agama. Anak kemarin sore udah belajar usil."

Kami hanya diam dengan tatapan benci yang ibu perlihatkan. Ya Allah, kenapa dengan ibu kami, lirihku

Itulah ibu, tingkahnya makin beda. Memang parasnya makin glowing, body-nya pun kian menarik. Tapi iman ibu kerontong, rasa malunya terkikis, rusak semua yang ia tanamkan pada kami.

Sungguh, kami tersiksa.

Bapak terlihat kuyu. Ia coba tampilkan wajah sabar dan merasa tetap kuat. Terus berusaha menasehati. Tetapi tubuhnya tak menipu, semakin hari menyusut berat badannya. Tatapannya seperti kosong saat sendiri. Sering terdengar tangis di penghujung malam atau di kesunyiaan sepertiga waktu istimewa. 

Klimaksnya, ibu meminta untuk mengakhiri semua ikatan suci. Yang paling menyakitkan ialah semua karena orang ketiga dan itu sosok yang amat kami kenal.

Jahannam!

Kalau ingin tahu rasaku sekarang seperti pelepah pisang yang diinjak-injak tak karuan. Sampai tak ada bentuk. Tak ada yang terlihat. Belati karat berkali-kali ditusukkan pada dadaku, sungguh, itu lebih ringan daripada menerima kenyataan ini.

Ibuku bahagia dengan senyum ceria. Bapakku sakit-sakitan. Adikku mulai melamun. Belum memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Tak ada yang bisa meringankan, dan aku.. menelan ini sendiri. Tanpa ada siapa peduli.

Omong kosong sahabat dekat. Omong kosong dia yang tulus mencintai, katanya. Faktanya, saat kami kelaparan tak ada yang singgah meringankan lapar kami. Tak ada yang menemani rasa perih di dasar jiwa. Malam yang sepi hanya memeluk mimpi. Tak ada kamu yang sok peduli.

"Jangan tinggalkan Allah," kata bapak. "Jangan lupakan Allah."

"Di mana Allah Pak, saat begini kenyataannya kitt tetap menderita." Teriakku dengan emosi.

"Percayaalah Nak, Allah tetap ingat pada hambanya yang memilih kabur dari rahmat-Nya. Apalagi pada mereka yang ingin terus dekat dengannya."

Kata itu menyentak di jiwa. Jiwaku bergetar. Dan untuk selanjutnya yang aku lihat gelap semua. Gelap seperti apa yang kami hadapi. Entah esok, apa masih ada mentari lagi. Selesai.(*)

Pandeglang |   19 September 2021

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar