Lelaki Peragu, Siapa?

'Lelaki peragu itu, kamu!' Katamu dengan mata menahan amarah.

'Kenapa harus saya?!'

'Karena kamu, hanya pandai merangkai kata dan tak bisa mereflesikan apa yang kamu katakan. Sedangkan kata tak akan punya makna tanpa ada bukti nyata. Dunia punya warna bukan karena kata-kata, tetapi karena ada orang yang mengorbankan waktunya untuk melukisnya.'

Saya tentu saja tercengang. Inspirasi dari mana yang buat kamu seidealis dan seberani itu berkata. Kagetnya saya seperti orang yang runtuh jiwanya karena menyaksikan orang yang dicintainya dipinang orang. Parahnya, saat dia di puncak demen dan ingin melangkah pada proses sakral.

Mari kita eja:  a-ku per-a-gu.

Tunggu dulu, ragu dalam hal apa?

Apa ini ungkapan kekecewaan kamu karena ada hal yang buat kita sempat berselisih? Apa ini buah dari koreksi akan sikapku yang plin-plan. Merasa masih mempertimbangkan, aslinya hanya teori untuk menutupi diri dari ketidakmampuan.

Saya tidak marah apalagi benci. Apa yang kamu kata itu analisa. Pastinya harus saya renungkan. Apa relevansinya dan bagaimana menyikapinya. Faktanya kamu bukan orang pertama yang berkata begitu.

Oke, saya buka sedikit tentang  siapa saya. Untuk memudahkan pembicaraan katakanlah apa yang kamu kata benar adanya. Saya peragu dan memang sering ragu dalam bersikap.

Ketika orang lain sudah jauh menapaki karir dan jenjang hidup, saya masih di sini dan tetap begini. Menikmati liku-liku hidup. Terus membangun optimis diri. Sesekali merasa nyinyir, sesekali meratapi takdir yang penuh warna.

Lalu, kenapa saya tak mau macam orang lain? Itu pertanyaan intinya. 
Baik, silakan duduk. Akan saya jelaskan kenapa. Setelahnya saya berarap kamu akan punya gambaran yang lebih netral.

Kenyamanan. Percaya tidak, saya suka tidak nyaman mengikuti orang lain, entah baik dalam karir atau gaya. Saya sudah membangun passion terhadap diri saya, yang mana itu beda dengan mereka.

Apa yang mereka anggap istimewa, bagi saya biasa. Apa yang mereka bagus justru di mata saya tak ada beda dengan yang lain. Saya tak bisa memaksa diri untuk satu haluan karena itu siksaan. Berbeda itulah yang nyaman.

Jalan hidup. Plot dan lokus cerita hidup saya tak akan  sama dengan yang lain. Biarkan itu mengalir. Tak usah memaksa orang lain menjadi saya. Begitupula memaksa saya menjadi orang lain. Sungguh, itu tak artinya.

Ketika di dekati lawan jenis banyak lelaki lain yang responsif lagi tak sabaran. Rata-rata menyikapi dengan logika dasar tanpa akal yang kuat. Hanya kebanggaan belaka tanpa ada esensi yang sempurna.

Cukup sudah bagi saya keki melihatnya. Saya kasihan. Jalan hidup mereka buat saya tertarik, untuk apa saya ikut-ikutan. Maka, saya memilih tak terlalu peduli. Biasa saja. Cukup menikmati aromanya tanpa menyibukkan tenggelam di dalamnya.

Prinsip. Menjalani hidup tanpa prinsip seperti kita berlari tanpa bekal keamanan. Saat kita terjatuh cepat luka. Saat lelah ingin cepat menyerah. Saat jenuh ingin berhenti. Tak ada semangat yang menggebu karena mudah pudar.

Begitu dalam sikap yang kamu tahu, itu terbentuk dari elemen dasar tiga hal yang saya katakan. Bukan hadir tanpa sebab. Tetapi saya memahami juga menghormati apa yang kamu katakan. Bagi saya itu sebuah kepedulian.

Setelah saya sampaikan, harapnya kamu bisa lebih rileks menilai diri saya. Seperti rileksnya mentari yang menyinari bumi di pagi hari. (*)

Pandeglang |  24 September 2021

Posting Komentar

0 Komentar