Gara-Gara Ustadzah


sumber facebook.com


Kemarin sore sepulang dari pasar aku bertemu dengan ustadzah muda di kampungku. Ustadzah yang baru punya momongan, mengajar anak-anak di rumahnya, dan dia termasuk kalangan sering mengisi pengajian kalau ada hajatan di sekitar kampung kami.

Saat aku temui, tengah memangku buah hatinya yang masih hijau dan lucu. Tepat di depan warung Teh Ida, kan itu jarang sekali. Soalnya bukan warungnya, bukan pula saudaranya itu. 

Aku sapa dong, meski di atas motor, sambil menunjuk pula----tanda penghormatan--- tapi apa lacur, sapaanku itu hanya jadi angin lalu. Hempas gitu aja. Sebagai manusia aku tersulut emosi. Kesal, bercampur greget. Garing pula ini senyum. Apa-apaan ini. 

"Tadi juga, ngapain kamu sapa," komentar suara hatiku.
"Ya, namanya juga sesama manusia. harus saling sapa, dong?" Jawab sisi lain hatiku.
"Kamu tahu kan, walau dia ustazah muda sudah terkenal itu... asem wajahnya."
"Tapi kan bisa aja orang berubah. Jangan putus harapan dulu."
"Berubahnya mbok-mu! Itu kemarin apa? Gak usah sok idealis lah. Hidup itu ya, ganpang-gampang aja."
"Niat saya itu sudah benar. Sudah itu saja."
"Lagian nih ya, siapa yang bilang gak benar?!"
"Kok nyolot sih?"
"Hahaha. Bebal sih lu! Rasin deh!"

Begitulah pertengkaran di dalam jiwa. Ada benar dan salahnya. Ternyata, gelar tidak menjadi ukuran. Tidak pula menjadi jaminan itu berkualitas. Dalam satu soal mungkin ya, dia memiliki keunggulan; namun sisi lain gimana. 

Di sinilah kita tidak boleh mengukur sesuatu dari baju dan status sosial belaka. Bisa jadi orang yang kita anggap hina dia jauh bermoral daripada mereka yang terlihat suci. 

Dalamannya siapa tahu? Ngomongin dalaman, ya dia yang lebih tahu dong. Kalau kamu lebih tahu dalaman dia, ya masalah lagi dong?!

Tahu dari mana coba?!

Terlepaas dari perdebatan di atas, aku sungguh banyak mendapat faidah. Di antaranya adalah bersikap baik itu harus terus kita usahakan dalam kehidupan. Tidak hanya kita harapkan pada mereka yang mulia tetapi pada setiap manusia.

Tidak demi puji atau lainnya. Sejatinya setiap sikap kita akan terlihat apakah kita itu berkualitas apa tidak. Sederhananya kualitas itu bisa terlihat dari sikap harian kita. Tidak dibuat-buat gitu loh. Lahir karena habbit kita.

Menilai baik-buruknya kita sederhana sekali cerminannya ya?

Tidak jauh macam kita menilai orang. Saat kita menilai baik itu justeru bagaimana sikapnya itu seperti apa ketika kita sapa. Penting kita terus berusaha agar sikap harian tetap berada dalam jalur yang baik. 

Syukur-syukur benar.

Ada dua hal yang terus kita samakan. Padahal itu dua hal yang berbeda. Satu benar dua baik. Baik itu ukurannya moral sedangkan benar adalah adalah hukum. Rata-rata ukuran benar itu baku dan tegas. Di mana-mana sama. Beda dengan moral yang acapkali berbeda. Karena ukurannya budaya, adat istiadat.

Itulah kenapa dalam keseharian kita melihat apa yang dicap agama tidak benar misalnya dibenarkan oleh lingkungan lain pun. Katakanlah perzinaan, LGBT, dan perselingkuhan itu dicap persimpangan sosial.

Jelas salah dan tidak benar. Di mana pun hampir sama. Beda misalnya kalau budaya tiap negara melihat tiga hal itu: ada yang membenarkan dan menganggap itu biasa. Sebabnya, di sana telanjang dianggap biasa. Bayangkan, telanjang dianggap biasa. Kalau di kita bisa dikira gila tuh orang. Sejauh apa yang aku tahu, agama di sana jelas melarang. Dari sononya. 

Di sinilah letak agama setiap membuat aturan tidak plin-plan. Tidak pedulli puji dan caci maki. Tegas di jalur yang tepat. Pertanyaan sederhananya lagi, akan memilih jalan manakah kita? []

Pandeglang, 29 Juli 2022

Posting Komentar

0 Komentar