Strategi Kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa Banten/ Wikipedia

Pendahuluan

Hari ini bangsa kita tengah berjuang menghadapi problem cukup pelik. Selesai satu soal muncul soal lain yang tak ada habisnya. Dari korupsi sampai pembegalan kendaraan hingga pelecahan seksual kian hari makin mencemaskan dengan ragam dan motifnya.

Pembenturan Islam dan politik (negara) tak henti terdengar. Radikalis, ekstrimis, sampai fundamentalis menjadi kebisingan sosial di tengah publik.

Seolah itu menjadi tontonan nyata di tengah hiruk pikuk kemajuan zaman. Padahal kita tengah menginjak revolusi 4.0 menuju 5.0. Sebuah abad iptek menjadi syarat mutlak. Ironisnya, fokus kita tidak ke sana.

Di saat yang sama, generasi muda amnesia terhadap sejarah. Mereka lebih mengenal dan tahu selebriti berikut aktivitsnya daripada pahlawan negeri yang nyata telah menorehkan sejarah manis untuk bangsanya.

Provinsi Banten atau biasa menyebut 'Urang Banten' memiliki sejarahnya sendiri dan tokoh-tokoh besarnya. Bagiamana dulu mati-matian mengelola kesultanan agar tumbuh sampai berkembang pesat.

Dari sana  kita menjejaki pelajaran luar biasa yang layak digali dan diteladani untuk menyongsong masa penuh persaingan.

Menyaksikan ini, kiranya perlu kita menengok ke belakang, menggali sejarah abad 16. Bagaimana Keputusan politik Sultan dan gerakan cerdas lagi taktis sehingga mampu mengantarkan Kesultanan Banten sebagai kerajaan yang disegani sampai ke ujung benua putih sana.

Di masa itu, kesultanan Banten dibawah komando Sultan Ageng Tirtayasa hadir sebagai sebuah negara yang maju, berwibawa, mengayomi bangsa dan mampu menghadirkan sejahtera pada tumpah darahnya. Yang mirisnya sampai hari terus menjadi harapan kita.

Lantas seperti apa terobosan yang dilakukan Sultan untuk menjaga kedulatan bangsa? Di saat yang sama mulai menghadapi ekspansi kolonial yang mulai bercokol di kepulauan Nusantara. Menggerogoti kekayaan alam dan menumbangkan kemerdekaan sebagai manusia.

Seperti apa dan bagimana strateginya? Benarkah Islam dan politik dua hal yang paradoks? Mari kita ikuti selengkapnya.

 2). Tidak Sekedar Popularitas

Lahir dari rahim dan lingkungan kerajaan tidak membuat Pangeran Surya--nama lain Sultan Ageng sebelum diangkat menjadi raja-- hanyut di lembah huru-hara. Layaknya pemuda biasa beraktivitas memungut  mimpi dan harap. 

Masa muda dihabiskan untuk belajar dan berlatih tentang banyak hal untuk membekali diri. Ilmu agama, tata negara, sastra dan keamanan digeluti. Tak ayal, saat estafet kepemimpinan turun padanya, beliau tidak kaget lagi gentar menanggung resiko di pundaknya.

Amanah yang dipegang bukan sekedar warisan tapi memang memiliki skill lagi kecakapan di bidang tersebut. Terbukti di masa itu, Sultan menaruh perhatian besar di banyak sektor pembangunan, tak hanya fisik negara, kualitas kesejahteraan rakyat pun menjadi perhatiannya. Bukan sekedar membonceng nama besar ayahandanya belaka.

Inilah potret sosial kusam sekarang. Menjamur di tengah belantika perpolitikan kita. Betapa "nama besar" orangtua kerap kali menjadi tiket kepercayaan diri memegang tampuk kekuasaan. Tak sadar nasib anak bangsa dipikul di pundaknya. Sejahtera atau tidak ada di tangannya.

Mirisnya, saat sudah terpilih kebingungan akan melakukan program mana yang urgent. Popularitas tidak sebanding dengan kualitas. Kerajaan Banten mendapat keberhasilan  justeru dari kader muda yang tidak sekedar mengandalkan popularitas, Sultan Ageng mampu membaca persoalan di tengah masyarakat dan mampu pula  menyelesaikan itu dengan baik.

Popularitas bukan segalanya. Perlu kiranya kualitas intelektual, emosional, dan spiritual berpadu untuk mengentaskan problem bangsa. Modal ini yang kini cukup langka di tengah kader muda bangsa. Wajar anga korupsi tinggi karena biaya duduk di kursi juga mahal. Politik uang menjamur di segala lini. 

Menjaga Kedaulatan dan Terobosan Nyata

Sepeninggal Sultan Abulmufakhir mangkat, ayah dari Sultan Ageng Tirtayasa. Perlu diketahui, Sultan Abulmufakhir adalah Sultan pertama di Nusantara yang pertama menerima gelar Sultan langsung dari raja Mekkah, Sayyid Hassan. Banten menghadapi krisis dari dalam dan luar. 

Bidang perekonomian lesu sehingga membutuhkan gagasan cerdas untuk memperbaiki. Hari ini kita mungkin bisa demo. Di abad itu demo tidak lazim dilakukan. Selain terganjal aturan juga kultur belum mengijinkan. 

Sultan melakukan terobosan dengan mengembangkan jalur perdangan dunia. 
Jalur diplomasi ditingkatkan  ke beragai negara sahabat. Melebar dari Arab, Cina, Persia, Turki, Inggris sampai Perancis.

Tak hanya itu, Sultan mendatangkan arsitek asal Cina untuk mengelola proyek irigasinya dibantu pula oleh Konsultan dari Belanda, Willem Caeff. 

Irigasi itu selain diperuntukkan untuk ekonomi pertanian juga dipakai untuk jalur transfortasi dan pertahanan. Sehingga pemerataan dan keamanan masuk ke pelosok sekalipun.

Sultan pun menaruh perhatian besar terhadap tumbuh kembangnya dunia dakwah. Di antaranya memberi kuasa pada Syaikh Yusuf al-Maqasari di posisi vital sebagai penasihat  sekaligus mufti kerajaan.

Wajarlah perkembangan keilmuan dan kebudayan islam tumbuh subur berkat terobosan besarnya.

Dasar ini bisa menjadi acuan atau bantahan dari mereka yang kurang antipati dengan gerakan politik Islam bahwa sejatinya Islam dan politik dua hal yan saling berhubungan. Jauh sebelum proklamasi dibacakan oleh Bung Karno, Islam telah menciptakan peradaban di bumi nusantara.  

Demi menjaga kedaulatan bangsa, Sultan tegas terhadap ancaman dan upaya konfrontasi kolonial. Konsistensi dan loyalitas dilakukan sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya di penjara. Semua demi cita-cita hakiki. Gesekan acapkali terjadi.

Puncaknya kerajaan Banten dikudeta oleh Sultan Haji, darah dagingnya sendiri yang bersekongkol dengan VOC. Putera mahkota yang seharusnya bisa menjaga marwah kerajaan, akan tetapi demi nafsu kekuasaan menyingkirkan ayahnya sampai menemui  ajalnya di pengasingan penjara Batavia tahun 1692.

Pantaslah dalam buku sejarah Banten ditulis oleh Claude Guiilot disebutkan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah pemimpin Banten yang melakukan transformasi budaya dan pembangunan fisik yang berbahan bambu dan kayu menjadi batu beton. Sungguh, sebuah inisiastif yang melampaui masanya.

Tegas Terhadap Siapa Kawan dan Lawan

Di masa menjelang senja Sultan Ageng membagi tugas kenegaraan kepada kedua puteranya.

Tugas dalam negeri dipegang oleh putera mahkota Sultan Haji, sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Pangeran Arya Purbaya. 

Untuk memantapkan agar kelak menjadi Sultan selanjutnya, ayahnya menyuruh Sultan Haji agar pergi ke Makkah untuk menunaikani haji sekaligus menuntut ilmu. Sepulangnya dari Makkah Sultan Haji dihasut oleh W. Ceff, duta besar Belanda di Banten.

Sehingga melahirkan kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada ayah dan adiknya. Kalau nanti ia tidak bisa naik tahta karena ada Pangeran Purbaya adiknya sendiri. Persekongkolan ini menjadi bumerang besar di Kesultanan Banten. Puncaknya Sultan Haji dibantu pasukan VOC melakukan kudeta terhadap sultan sah, yang tak lain ayahnya sendiri yaitu Sultan Ageng Tirtaysa.

Tentu saja, Sultan tidak tinggal diam. Bersama rakyat dan pasukan kerajaan bisa melumpuhkan makar dari anaknya. Itu terjadi tanggal 27 pebruari 1682. Selanjutnya VOC meminta bantuan dari pasukan Batavia atas kekalahannya.

Tak lama, Banten berhasil dikuasai kembali oleh kompeni. Setelah itu, hilanglah masa kedaulatan mutlak Kesultanan Banten terhadap wilayahnya karena berada dalam cengkraman kompeni VOC.

Menghadapi ini, Sultan menjadi dilema. Bagaimanapun Sultan Haji adalah darah dagingnya. Namun ia memberontak bahkan bersekutu pula dengan kompeni, musuh negara.

Di sini teruji ketegasan juga ketegarannya Sultan Ageng. Akankah cintanya mengalahkkan amanah yang dipegangnya? Atau sebaliknya tetap konsisten memegang amanah rakyat?

Sejarah mencatat Sultan melawan langsung kepemimpinan Sultan yang direbut karena makar berkat kepanjang tangan dari kolonial. Meski pada akhirnya Sultan ditangkap karena ditipu lalu di penjara di Batavia.

Sebuah teladan untuk kita generasi sekarang, betapa cinta dan pengabdian harus seimbang. Kita harus bisa menempatkan di tempat yang seharusnya. Kita menyasikan banyak paradoks pemegang kekuasan lupa antara cinta dan pengabdian.

Saat anggota keluarga melakukan pelanggaran hukum bukannya tegas seperti Sultan Ageng Tirtaysa, yang ada diam-diam membantu terlepas dari jerat hukum. Atau main mata dengan penegak hukum sehingga berefek negatif terhadap kualitas hukum kita.

Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Pada akhirnya, marwah penegak hukum meluntur disertai kenyataan sosial menjemukan. Siapa kuat dia menjadi penguasa. Rakyat pun hanya menjadi hiasan atas keputusan politik inti. Sejahtera pun menjadi ocehan lima tahun sekali. 

Penutup

Sampailah kita pada akhir pembahasan. Dari apa yang penulis paparkan di atas, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita ambil i'tibar dari peristiwa lampau tersebut.

Pertama, bangsa besar adalah bangsa yang yang bisa menghargai jasa pendahulunya. Pendahulu itulah pahlawan yang telah menorehkan jejak manis ditinta sejarah.

Inilah yang harus kita gulirkan dan terus suarakan agar generasi muda mengenal, tahu dan bisa menghayati perjuangan pahlawan agar tidak kehilangan arah tuntunan hidup. Baik oleh pemangku negeri atau elemen rakyat seluruhnya.

Kedua, sejarah itu bukan sekedar mencatat peristiwa lama. Sejatinya kajian sejarah hendaknya menyadarkan kita agar tidak terperosok di lubang yang sama. Yang terjadi hendaknya menjadi renungan dan pelajaran. Melek sejarah disertai daya baca perlu terus digalakan.

Ketiga, atas potret sosial yang belum ideal, politisi dan petinggi negeri tidak cukup berkoar saja. Harus ada gerakan dan aksi nyata untuk mengobati luka dan sakit di tubuh negeri yang kita cinta. Kata Buya Syafie Ma'arif, 'Indonesia itu surflus politisi dan minus negarawan'. Ini harus jadi cambuk.
 
Kita harus sama-sama menjaga tradisi dan budaya sebagai wujud penghormatan atas aset bangsa. Membuka kajian-kajian intensif tentang sejarah, seminar dan gerakan pengenalan.

Tak hanya itu, melek literasi bisa menjadi perhatian bersama untuk menunjang generasi yang produktif yang memiliki daya saing. 

Kelak sejarah mencatat, apa yang kita lakukan bisa melahirkan generasi unggul yang mengharumkan negeri. Kita harap, lahir Sultan Tirtayasa lain di Indonesia terutama di bumi Banten khususnya, untuk membenahi dari carut marut gurita kekuasaan dengan ragam kepentingan semu.   []

Pandeglang |  8 Juli 2022   21.37

Sumber :
Buku Sejarah Banten: Membangun Tradisi dan Peradaban, 2014, Badan Perpustakaan dan arsip Provinsi Banten.
Buku Mereka Yang Berjuang Untuk Islam & Indonesia, 2012, Majalah Hidayah.
Situs Internet, dll.

Posting Komentar

0 Komentar