Kalau Kalah Lagi

Hidup itu perjuangan dan namanya perjuangan seorang muslim tak akan berhenti sampai behrenti di depan Surga (Imam Ahmad bin Hambali). Dalam bidang apapun sejatinya kita tengah berjuang, bersaing demi mendapat sesuatu yang kita harapkan. Meskipun ita acapkali kurang menyadarinya.

Di keluarga kita, begitu kata adik saya, ada kultus yang dibangun Emak bahwa anaknya tidak boeh kalah dengan orang lain. Kultus ini terus tertanam dan digaungkan sehingga terasa menjadi habbits dalam keseharian. Ini bisa benar atau tidak. Soalnya kata adik saya.

Tetapi dalam potret keluarga, memang kultus tersebut demikian terasa. Arahnya positif. Tetap saja api gelora membakar kalau stuck di satu tempat. Orang lain--bisa jadi-- tidak melihat ini, tahunya kami kumpulan keluarga yang tidak punya langkah nyata.

Segala yang kami lakukan, pahami itu halu belaka. Bagus sih, ngapain coba diketahui orang kalau tidak punya langka akan sikapnya. Mending dianggap tidak bergerak tetapi ada gerak pasti. Tidak ada beban ditanggung saat kalah atau menang. Itu jauh lebih produktif sekalipun terdengar suara tidak enak di telinga.

Ngomong-ngomong perihal persaingan atau perjuangan pastinya tidak akan lepas yang namanya kalah atau menang. Itu hukum alamnya. Setiap pertarungan akan menyisakkkan siapa yang kalah dan siapa yang menang.

Rasanya setiap kekalahan dan kemenangan itu punya nilai dan sisi lain di baiknya. Sekalipun hanya bisa didapatkan bagi mereka yang memiliki karaker unggul dan mau legowo. Siapa untuk menang dan tidak putus asa kalau kalah sekalipun.

Mental seperti inilah solidaritas dalam kehidupan. Sayangnya hanya sebagian orang memahami ini. Tak sedikit dari mereka berharap ingin selalu menang dan tetap menang, meskipun pelbagai cara dan apapun 'dibenarkan' dilakukan. Tidak peduli cara kotor lagi buruk. Rambu nilai-nilai luput menjadi perhatian.

Saya pikir, ini pula yang orang rasakan untuk kesekian kali (merasa) kalah dari orang terdekatr pun dikenal baik. Dalam banyak hal diri saya kerap kali kalah dari dia. Dalam fase tertentu dia mendapat apa yang saya harapkan. Padahal kalau harus jujur saya merasa memiliki kunggulan daripada dia. Sayangnya, saya dengan dia bak tersesat di satu labirin kemudian saya tersesat di labirin satu dan dia bisa selamat, unggul.

Saya ingin menang dengan apa yang kami harapkan. Lagi-lagi dia tetap saja unggul. Kadang saya ingin menyerah dan memilih kalah. Bagi saya ini kok sia-sia. Walau nurani tak berdusta terus meronta.

Saya harus kerja keras mendapat apa yang saya harap dan dia bisa saja untuk mendapatkan serupa. Ini paradoksnya. Terpikir sambil lalu, Allah terlalu berat menguji apa yang saya harap.

Mungkin ini gejala kenapa angka bunuh diri, laku kriminal terus saja meningkat sepanjang sejarah bangsa. Pergesaran abad menuju abad penuh perubahan juga perombakan cepat di segala kini.

Analisa saya. Penyebabnya bukan pada faktor di luar diri. Pengendalian diri yang kurang mapan bisa menjadi api dalam sekam. Tinggal menunggu waktu.Laku rakus tidak mampu ditundukkan sehingga membakar apa yang diri belum kendalikan. Walau bagimnana sungguh menyiksa jiwa. Tak ada yang sudi mengulurkan tangan untuk memberi dukungan apa yang terjadi bisa dihadapi.

Sayangnya kita lebih suka peduli terhadap kasus yang sudah terjadi daripada mencegah kasus sudah terjadi. Misalnya kasus yang viral di media sosial lebih banyak diminati; kalau kita telaah peristiwa itu banyak sudah kusam dalam benak kita. Terus kenapa bisa terus menarik dan memantik rekasi masal nan cepat?

Sederhananya selama ini kita kurang memperhatikan peristiwa di lingkungan. Seharusnya itu sebagian tema menarik untuk kita renungkan, pahami, dan peduli untuk kita gali secara seksama.

Di zaman ini upaya gila-gilaan dikejar sebagai bentuk mendepat predikat viral. Seolah popularitas adalah harga mati mendapat apa yang kita harapkan. Celah menuju surga abadi. Kita banyak kehilangan pegangan moral. Mengiki nilai miral dan budaya baik. Giliran orang sekitar kita atau kita mengalami itu, baru kita teriak seolah itu baru terjadi.

Sepantasnya apa kita lihat itu pintu untuk kita renungkan dan apa artinya. Setiap kejadian tersusun untuk digali apa penyebabnya apa hikmahnya. Tidak cepat responsif tanpa penyadaran jiwa. Kekalahan demi kekalahan bisa saja akumulasi dari apa yang gagal kita cari titik masalahnya.

Kalau kamu terus gagal berkomitmen dengan seseorang. Sianya dia selalu ketahuan selingkuh dengan orang terdekatmu. Jangan dulu-dulu mencaci diri dia, sekalipun dia slah. Cobalah intropeksi dirinya mungkin ada sikap dan sifatmu yang kurang layak dan belum pantas memiliki pasangan. Komitmen yang kamu bangun itu hanya demi memuaskan hasrat kamu bukan demi kebaikan bersama. Sekalipun niat awalnya demi keselamatan bersama.

Begitupula karir, nasib, atau apapun itu. Kalah dengan mereka tidak sealu meagtif. Negati itu soal sudut pandamg yanmgkita bangun. Mungkin kamu tahu cerita kolonel Sanders diusia senjanya ingin berbismis.maka dia jyal racikan ayam hasil oalanya. Mirisnya lebuih dari 1000 restoran menolak mentah-mnath itu.

Di pucuk ellahnya ity tergurat ide untuk mebuat restroam sendiri dan menggunaa racikan ayamnya sndiri. hari ini, di seluruh dunia kita menganlnya sbegai pemilik paten restran Chickrn Kenntucky itu. Keggaaamn deminkegagalamn dia insyafis ai tangga skses bukkan anka utukan.

Dan hari ini, bagaimna kta mnyikapi setiap kelajaah yang kita alami? Apa kita tetap di sana tersu mengutuk dan terus menyesali apa yang terjadi. Di siis lain kita lupa, segaal keluh kesah tanpa langkah itu rimnmg rumung kecewa. 

Bda dengan kalah tersu melangkag disrati pemahamn enar akan rasa kalh itu maka banyak uanya itu sbeuah kerahilann. Terlepas itu besarapa keci, dikena ataui rtudak. oin pntingnya, apa yanmg kita lakukan memri value dalam hidup kita. da esensi kita raih. Hal ini yang patutya kita pikir dan lakuan. Buakan sjedar eug tanpa angkah pasti. {***}

Posting Komentar

0 Komentar